Dengan kata lain, pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa seorang pemain yang paling lemah pun, jika kelemahannya dimanfaatkan secara tepat maka kelemahannya justru akan menjadi kekuatannya. Sutradara, di dalam hal ini, harus berlaku sebagai pemandu dan bukan sebagai instruktur yang mendikte. Sutradara harus mengarahkan secara luwes apa yang pemain mampu lakukan, yang nampak dari luar seakan sebagai kompromi, padahal itu jalan keluar yang simpatik dan memiliki daya kekuatan untuk mencipta kekayaan permainan.

    Itu, juga salah satu cara saya dalam membina pemain. Memberikan pemahaman. Menyadarkan kekuatan yang sesungguhnya sudah dimilikinya. Cara itu bisa lebih mengenai sasaran dibanding kukuh menggariskan ketentuan baku. Bukankah saya bekerja dengan pemain-pemain amatir? Dan adakah pemain yang profesional di Indonesia? Dengan pengertian, sanggup memerankan apa saja, dan karenanya dia memperoleh honorarium yang besar dari pekerjaannya? Bisa hidup dari pekerjaannya? Di negara kita, setahu saya, saat ini, belum ada profesionalisme semacam itu untuk teater.

    Memang, seorang aktor seharusnya sanggup mengontrol badan dan jiwa-nya, raga dan sukma-nya. Dia harus sanggup menggerakkan anggota tubuh bahkan yang paling halus sekalipun. Alat seorang aktor adalah raga dan sukma-nya. Alat itu harus bisa dimainkan dengan menarik, bebas, rileks, indah, dalam, bermakna. Dan di atas panggung, aktor harus bermain bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk penonton.

    Di masa lalu, seorang pemikir teater pernah menulis; “Pemain harus mereflektir bukan hanya refleksi dari imitasi kehidupan, tapi juga harus mempersembahkan idealnya dimana persembahannya itu harus menyatu sebagai suatu kebenaran, ditambah dengan keindahan”.

    Tapi seorang aktor Komedie Stamboel juga pernah menyatakan pendapatnya dengan contoh sangat sederhana; “Jangan biarkan penonton mengalihkan perhatiannya dari permainanmu. Jika penonton sempat makan kacang pada saat kau bermain, kau boleh menangis, sebab permainanmu sudah gagal”.

    Intinya, permainan harus mencipta daya pikat dan daya magnit. Padahal di setiap pentas teater rakyat, penonton bisa juga menikmati pertunjukan sambil minum wedang jahe dan makan kacang. Sementara di sebuah sudut gelap orang-orang asyik bermain dadu koprok, pentas masres tetap berjalan hingga subuh tanpa merasa terganggu.

    Ada sutradara teater yang berpendapat bahwa, pertunjukan bisa jelek dan membosankan jika kurang latihan. Sementara itu, lenong, ketoprak, masres dan Srimulat mampu menampilkan tontonan menarik hanya dengan latihan sesekali bahkan tanpa latihan. Jadi, mana yang harus dipilih? Mana yang benar? Teater masa kini, memiliki naskah yang harus dihafal dan dilatih.

    Saya memilih gabungan cara dari keduanya. Latihan naskah (atau tidak dengan naskah) mutlak perlu. Tapi saya menghindarkan diri bekerja secara mekanis dan dengan cara yang rutin. Latihan-latihan harus ada dalam suasana segar dan gembira. Jika tidak, perasaan bisa tertekan dan hasilnya akan berbalik menjadi buruk, kosong. Malah bisa sia-sia.

    Latihan harus didorong oleh niat ‘ingin berlatih’. Jika tidak, maka latihan hanya merupakan pengulangan tanpa pengembangan. Pernah terjadi, latihan naskah tidak saya lakukan karena beberapa aktor nampak lesu. Kemudian, waktu saya manfaatkan untuk membicarakan apa saja. Yang ringan dan yang lucu. Semua boleh saling memaki asal tidak membikin sakit hati. Hari itu, ruang latihan penuh ger. Kami tidak berlatih tapi berkeringat. Esok harinya, kesegaran nampak kembali. Daya berlatih malah tambah besar berkali lipat.

    Sejak pentas perdana, saya menulis naskah drama untuk kebutuhan grup. Setiap kali menulis naskah, saya tahu siapa akan bermain sebagai apa. Biasanya, sebelum saya menulis, saya ajak para calon pemeran membahas lakon. Lalu saya mengkaji-kaji kemampuan mereka. Bahkan bisa terjadi saya mengganti pemeran di tengah perjalanan latihan. Mungkin karena saya anggap kurang cocok. Dan hal itu sering terjadi.

    Untuk itu, saya selalu meminta supaya mereka sudi berbuka hati dan menerima kenyataan. Rasa tersinggung adalah salah satu segi yang bisa membahayakan emosi dan kekompakan sebuah kelompok. Apalagi pada dasarnya manusia selalu ingin diakui sebagai yang serba bisa. Padahal tentu saja, tidak selalu seperti itu.

    Itu sebabnya, setiap produksi selalu melewati proses latihan yang panjang. Keuntungan memiliki kelompok adalah, saya mengenal kekuatan dan kelemahan setiap anggota. Semua segi tak luput dari pengamatan. Cara yang saya pakai adalah membuka pintu peluang lebar-lebar, agar pemain berkembang mandiri. Tapi tentu ada koridornya; ukuran estetik dan artistik.

    Dan, ini yang paling penting, saya memupuk keberanian agar mereka memiliki rasa percaya pada kemampuan sendiri. Yang saya butuhkan, inisiatif. Sehingga tanpa instruksi pun, pekerjaan teater bisa dilakukan. Kalau hal itu sudah dimiliki, maka tanggungjawab dan disiplin akan lahir dengan sendirinya. Lalu teater akan menggelinding tanpa harus dikomandoi. Bergerak tanpa bisa dicegah lagi. Hidup. Indah. Bermakna.

    Sebuah ide adalah biaya. Sebuah biaya adalah kumpulan jerih payah. Jerih payah bisa mencipta sebuah hasil. Dan sebuah hasil adalah kemenangan atau kekalahan. Hal itu, nyaris merupakan sebuah aksioma.

    Pementasan yang lengkap, biasanya adalah pementasan yang mahal. Tapi pementasan yang mahal belum tentu pementasan yang berhasil. Pementasan teater tidak hanya ditunjang oleh sutradara dan pemain saja. Ada tata cahaya, set-dekor, property, koreografi, olah-suara, musik, efek spesial, busana dan rias wajah, juga manajemen produksi (termasuk publikasi dan penjualan karcis). Dan jangan lupa, penonton. Semua unsur ikut menunjang keberhasilan pementasan.

    Teater tidak digarap hanya untuk disimpan di dalam kamar. Teater harus dinikmati bersama audiens. Dengan begitu kehadirannya menjadi lengkap. Untuk bisa ditonton, teater membutuhkan tempat di mana seluruh penonton bisa berkumpul dan bersama-sama melakoni sebuah peristiwa teater. Tapi untuk melaksanakan semua itu, memang dibutuhkan biaya. Lalu dari mana biaya bisa didapat?

    Jika biaya tak memungkinkan untuk mewujudkan pementasan yang lengkap, tak perlu cemas dan putus-asa. Kalau niat kuat untuk ‘menyampaikan sesuatu’ lewat teater, segala kemungkinan bisa ditempuh. Tak perlu bingung jika fasilitas tata cahaya tidak memadai, gedung berakustik buruk, kostum mahal biayanya. Manusia memiliki akal. Demikian pula para seniman. Selalu ada alternatif. Justru di sini letak keseniannya. Kemiskinan sebaiknya jangan jadi penyebab kegiatan berteater stop. Grotowski sudah membuktikannya. Dia melahirkan konsep ‘teater miskin’. Lagipula, bukankah sejak dulu, teater kita miskin? Jadi, mengapa harus dipersoalkan lagi?

    Uniknya pementasan teater, juga berarti keunikan pencarian jalan keluar dari berbagai hambatan. Segalanya dikembalikan kepada diri sendiri. Kuatkah dorongan berteater? Atau lemah? Bukan melulu dari keserbaadaan muncul karya-karya besar, tapi biasanya, justru dari yang mulanya tak ada. Berawal dari kosong. Teater adalah karyacipta dari yang tiada menjadi ada.

    Tapi, sesungguhnya, orang teater kita tak memulainya samasekali dari nol. Jakarta punya Pusat Kesenian Jakarta-TIM dan 5 gelanggang remaja. Daerah membentuk dewan-dewan kesenian dan pusat kesenian. Pemda membangun gedung teater dan berbagai venue. Meski sering dipakai untuk acara pernikahan, sedikitnya gedung sudah ada. Puluhan tahun yang silam, saat belum banyak gedung teater, teater tetap bisa bergerak dan hidup. Berbagai pertunjukan yang bagus dan baik, lahir pula.