REPUBLIK TOGOG
PARA PELAKON:
PRIJO S. WINARDI Togog Tejamantri
BUDI ROS Samiaji
RATNA RIANTIARNO Kunti
EDI SUTARTO Drupada
SRIYATUN ARIFIN Drupadi
CORNELIA AGATHA Parwita
SRI DADI ADHIPURNOMO Durga
ANNEKE SIHOMBING Kalika
O’HAN ADIPUTRA Dewa Penyarikan/Kresna
SUPARTONO JW Semar
DORIAS PRIBADI Bagong
EMANUEL HANDOYO Gareng
RAHELI DARMAWAN Petruk
TUTY DWININGSIH Limbuk
PAULUS PN. SIMANGUNSONG Ariadewa
VINCENTIUS RAMCO SINAGA Gatotkaca
DESSY MULASARI Arjuna
MICHAEL ARMANDO YOGI Bilung
HENGKY GUNAWAN Bima
SUANTA SENA Nakula
INDRA PURWONSU Sadewa
Pengikut Durga;
INDRA PURWONSU, TUTY DWININGSIH, ANGGA YASTI, GURDI SALANDRA,
DESSY MULASARI, VINCENTIUS RAMCO, PAULUS PN SIMANGUNSONG,
SENA SUKARYA, HENGKY GUNAWAN, MICHAEL ARMANDO YOGI,
TETY MULYANI, RECKY, YANA.
PARA PEKERJA:
Karya dan Sutradara N. RIANTIARNO
Asisten Sutradara O’HAN ADIPUTRA
Penata Musik IDRUS MADANI
Penata Artistik dan Cahaya TAUFAN S. CHANDRANEGARA
Penata Busana LUCY LIMONO
Penata Rias dan Rambut SRI DADI ADHIPURNOMO
Penata Gerak RATNA ULLY
Penata Suara dan Akustik TOTOM KODRAT
Penata Grafis LOGO SITUMORANG
Para Pemusik O’HAN ADIPUTRA, ANES SUCIHANDONO,
EKO PARTITUR, GLEN RANDELL
Asisten Penata Artistik DORIAS PRIBADI
Urusan Artistik MASNUN LOSARI, SUGI, NANDA
Operator Pencahayaan YANTO, STAF GKJ
Urusan Rias dan Rambut SENA SUKARYA
Urusan Busana ………………….
Asisten Penataan Gerak GURDI SALANDRA
Operator Suara dan Akustik …………… , STAF GKJ
Pencatat DESSY MULASARI, RECKY
Urusan Latihan dan Umum RAHELI DARMAWAN, RECKY
Urusan Manajemen Panggung PAULUS, HERLINA, UUN ZULKIFLI
Urusan Konsumsi …………….
Urusan Kesehatan DR. UMAR SAID
Urusan Keuangan ASMIN TIMBIL
Urusan Publikasi LOGO SITUMORANG, STAF GKJ
Urusan Dokumentasi DORIAS PRIBADI
Urusan Karcis dan pemasaran SRI DADI ADHIPURNOMO, STAF GKJ
Urusan Sponsorship TIM TEATER KOMA
Pimpinan Panggung TINTON PRIANGGORO
Asiten Pimpinan Panggung SARI MADJID
Asisten Pimpinan Produksi SRI DADI ADHIPURNOMO
Pimpinan Produksi RATNA RIANTIARNO
GEDUNG KESENIAN JAKARTA, 28 Juli s/d 6 Agustus 2004, pukul 20.00 WIB
Ringkas Kisah:
Samiaji, raja Amartapura, kena pengaruh Tejamantri dan Kalika. Tejamantri itu Togog, mata-mata dari Kerajaan Gilingwesi. Sedang Kalika adalah asisten pribadi Durga, ratu sakti dari Setra Gandamayit. Mereka bertujuan ingin mengusik ketenteraman Amartapura. Akibatnya, Raja Samiaji yang juga sulung Pandawa, makin kehilangan akal sehatnya.
Dengan berpura-pura sebagai ‘orang bijak’, Togog berhasil menguasai Amarta. Samiaji malah berniat menikahkan putri angkatnya, Parwita. Dia rela menyerahkan Jimat Kalimusada, pusaka para Pandawa. Juga, berikrar mengangkat Tejamantri sebagai putra mahkota Amartapura. Pintu hati nurani raja yang sesungguhnya bijaksana itu, nampak semakin tertutup.
Akibat sihir Kalika, Samiaji dan Kunti (ibusuri Raja) kehilangan kendali jiwa. Keduanya sepakat, Sadewa, si kembar bungsu Pandawa, harus dijadikan tumbal. Demi kemakmuran dan kejayaan Amarta, katanya. Dan justru itulah impian Durga. Dengan tumpahnya darah Sadewa, sang ratu berharap bisa menjadi cantik kembali. Dia percaya, kecantikan akan menjadi alat ampuh untuk merayu Arjuna.
Para panakawan (pana= cerdik, kawan=sahabat, sahabat yang cerdik) sudah lama pergi meninggalkan Amarta. Mereka adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, yang lebih memilih bertapa di puncak gunung dan tak mau lagi ikut campur urusan negara. Prabu Kresna, penasehat agung Lima Pandawa, juga patah arang. Saat kerajaan kacau, raja dan para satria tak lagi memiliki rakyat yang senantiasa setia dan mencinta. Kekacauan semakin merajalela.
Drupadi, isteri Samiaji nan setia, akhirnya berhasil membukakan mata sang suami. Bersama Limbuk, pelayannya, Drupadi menjebak Tejamantri. Domba itu ternyata serigala buas. Orang bijak itu ternyata si munafik besar. Tapi pusaka Pandawa sudah di tangan Tejamantri dan Sadewa sedang melakoni upacara tumbal. Lalu di mana Semar? Di mana Kresna? Sanggupkah keduanya mencegah musibah?
Lakon tentang kemunafikan ini, sinergi dari Tartuffe karya Moliere dan Sadewa Tumbal, Mahabharata. Upaya mengawinkan ‘wayang Jawa’ dengan ‘wayang Prancis’, melahirkan ‘wayang TEATER KOMA’. Sebuah wayang masa kini yang mengungkap permasalahan utama di sekitar kita. Kemunafikan melahirkan keserakahan. Dan keserakahan menerbitkan kehancuran. Ada baiknya kita sejenak merenung. Bercermin diri. Hendak ke mana kita sesungguhnya? Setitik kesadaran, barangkali, bisa melahirkan setitik harapan. Dan masa depan lebih baik adalah harapan. Sudah terlalu lama ketidakpastian menjerat. Mengapa tak ‘bangun’ juga?