Jakarta, 1980.

    Sebelum pementasan ke-empat Teater Koma yang berjudul Kontes 1980, Dewan Kesenian Jakarta menggelar Temu Teater Nasional. Beberapa kelompok teater dari Jakarta dan dari luar Jakarta mengirim kontingen, dan sebagian mementaskan karya teater mereka. Dalam kesempatan itu, digelar pula panel diskusi yang diikuti oleh sutradara-sutradara teater nasional. Para sutradara diminta mengungkapkan konsep berteaternya. Lalu konsep itu didiskusikan.

    Saya menuliskan konsep kesenian Teater Koma.

    Judulnya; Teater Tanpa Selesai. Isinya demikian;

    Dalam suratnya kepada Dewan Kesenian Jakarta sehubungan dengan pementasan pertama Teater Koma, saya menulis; ‘Melihat sekarang ini kegiatan teater kita sangat didominasi oleh teater-teater senior yang nampak tenang dan bahagia  dengan warna teaternya yang semakin khas itu, maka ..’ dan seterusnya.

    Pada tanggal 1 Maret 1977, Selasa Pahing, duabelas seniman yang punya iktikad sama, mendirikan kelompok Teater Koma. Tekad mendirikan kelompok teater, antara lain didorong oleh keinginan menghadirkan tontonan teater yang diharapkan memiliki warna berbeda dengan kelompok teater yang sudah ada.

    Teater Koma belajar dari kelompok-kelompok teater terdahulu. Mungkin bentuk pementasannya merupakan gabungan dari bentuk teater yang sudah ada. Tapi bisa juga bentuknya malah ‘berbeda sama sekali’. Titik tolak pembentukan kelompok, terutama didorong oleh kegelisahan pencarian berbagai kemungkinan lain dan upaya mewujudkannya di atas pentas. Teater Koma menganggap, karya pentas teater yang ada selama ini, belum seluruhnya selesai.

    Teater Koma bisa juga disebut sebagai teater tanpa selesai. Pencarian wujud dan isi teater yang lebih kaya warna, akan menjadi prioritas utama.

    Ada dua tujuan pokok yang menjadi landasan dalam bekerja;

  1. Membentuk kelompok menjadi wadah, semacam workshop, yang berupaya mencari berbagai kemungkinan pengucapan lain. Naskah-naskah drama yang digali kandungan idenya, lebih diutamakan karya para penulis Indonesia. Kemudian, workshop akan diarahkan menuju perencanaan pementasan.
  2. Menyiapkan calon seniman dan pekerja teater yang tangguh. Pembinaan terhadap calon seniman dilakukan secara tak resmi. Intim dan spontan, tapi intensif. Lewat omong-omong dan diskusi. Akan diundang seniman-budayawan di luar kelompok untuk memandu pembahasan sebuah topik yang punya keterkaitan dengan seni-budaya. Akan diselenggarakan pula latihan dasar; olah tubuh, nafas, vokal, dan berbagai pengetahuan teater.    

    Pegangan yang mencipta kegembiraan bekerja adalah kerjasama yang saling menghargai. Tak perlu berikrar terlalu muluk, misal, ‘hidup dan matiku hanya untuk teater’ atau omong kosong lain yang sloganistis. Para anggota diminta untuk tidak berharap banyak dari teater, terutama dari segi pemenuhan materi.

    Dengan kesungguhan hati, meski dalam keterbatasan, karya teater yang baik juga bisa dilahirkan. Anggota kelompok yang terlanjur memiliki pekerjaan di luar teater, kerjanya tak boleh terganggu. Tapi begitu ikrar terlibat dalam kegiatan, dia harus menyediakan (mengelola) waktunya dengan sepenuh hati. Artinya, dia harus mencari akal agar semua jadwal tak terganggu.

    Untuk membuktikan hal itu, Teater Koma menggelar produksinya yang pertama berjudul Rumah Kertas, awal Agustus 1977, di Teater Tertutup TIM. Dalam buklet pementasan, Teguh Karya, pemimpin-guru-sutradara teater dan film yang sangat saya hormati, menulis kata pengantar berjudul Prospek. Salah satu anjurannya, yang kemudian menjadi pegangan adalah; ‘bikin dan lahirkan pembaruan-pembaruan!’.

    Pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Saya tak berani menyatakan,  apa yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru. Barangkali lebih tepat disebut, ‘upaya penggalian berbagai kemungkinan’. Dan apa pun hasilnya, sudah tentu bukan sesuatu yang baru. Bisa jadi, yang dianggap ‘baru’ adalah sesuatu yang pada suatu masa pernah akrab dengan kita. Tapi dilupakan hingga memfosil. Sebab, kata orang, ‘di bawah matahari, tidak ada sesuatu yang baru’.-

    Pernah terjadi, pada suatu masa, kondisi teater kita sungguh tidak masuk akal. Teater ada di awang-awang. Hanya seniman saja yang memahami apa yang dilakukan orang teater. Celakanya, bahkan orang teater pun banyak yang tak paham. Lalu penonton memandang teater sebagai alien yang sukar dipahami dan ‘berbahaya’. Setiap kali menonton kegiatan teater semacam itu, rasanya seperti menyaksikan, maaf, tindakan ‘masturbasi’. Pujian datang dari sesama teman, saudara dan tetangga dekat. Hanya pujian. Tak ada kritik tajam yang bisa dipelajari atau dipakai untuk bercermin.

    Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi. Di lain sisi, para pekerja teater yang menggelar teater macam itu, merasa yakin karyanya sebagai hasil semedi, lewat dupa, darah dan keringat, seluruh jiwaraga. Tapi mengapa kerja seolah sia-sia? Mengapa seakan-akan hanya sedikit orang saja yang ‘memilikinya’?

    Teater tak boleh terpencil apalagi dipencilkan. Teater bukan alien. Juga bukan pahlawan sakti dan bersayap yang dengan pongah menatap dari langit. Lalu hanya dengan mengangkat jari sebelah tangan, hasil perenungan bagai emas berjatuhan, jadi rebutan khalayak. Tidak. Itu dongeng. Mitos.

   Teater adalah pemaparan pemikiran, kritik dan otokritik. Salah satu upaya pencarian jalan menuju kebahagiaan. Teater bisa mengandung berbagai pertanyaan yang seringkali tak terjawab. Tapi teater harus akrab dengan masyarakatnya. Menjadi magnit, dibutuhkan. Sebab, sumber teater adalah kehidupan dan alam semesta. Kisah manusia menjadi titik pusatnya.

    Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga bukan kamus yang serba tahu. Bisajadi, teater cuma kumpulan pertanyaan yang jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka panjang. Jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk. Bahkan Teater pun harus senantiasa bercermin, selalu berupaya meneliti kembali semua kekurangan dan kelebihan. Dan masyarakat adalah ‘cermin yang bening’ bagi teater. Jangan sampai melupakan hal yang sangat penting itu.

    Saya kurang setuju jika seniman teater hanya berkubang di dalam lingkar-teaternya saja. Seperti katak dalam tempurung. Seniman teater sebaiknya seperti para seniman Bali, yang ketika tidak berkesenian adalah petani-petani tekun yang mencintai tanah dan bumi. Atau seperti para pemain lenong, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak atau kuli pelabuhan.

    Bekerja. Itu kata kunci yang utama. Keakraban dengan kehidupan nyata adalah sumber daya kreatif para seniman teater. Bukan sebuah ‘istana asap’ yang harus diciptakan. Karena pada suatu ketika, akan diketahui bahwa yang dibangun hanyalah ‘istana asap’ belaka. Lalu akan datang kekecewaan dan teater pun ‘dibenci’. 


    Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang merelakan diri hidup hanya untuk teater, saya menganjurkan anggota Teater Koma agar tidak memasuki teater dengan modal kosong. Mereka harus rela mensubsidi kegiatan sendiri, yang  dikerjakan tidak tergesa-gesa. Rileks tapi tetap waspada. Dengan cara itu, sebuah pertunjukan yang baik dan bernas pun bisa disajikan. Persoalannya adalah, apakah rileks dilakoni dengan penuh kewaspadaan dan rasa tanggungjawab atau hanya rileks tak waspada saja?

    Cara sederhana seperti itu, berdasarkan kenyataan lapangan, malah justru mampu mencipta kegembiraan kerja. Dalam sebuah paguyuban, yang masing-masing anggotanya saling mengisi kekurangan, suasana akrab kemudian dibangun. Saya tidak pernah marah jika ada pemain datang terlambat latihan. Saya hanya berusaha mengetahui mengapa dia terlambat dan membahasnya dengan simpatik. Saya menyodorkan pemahaman mengenai disiplin dan tanggungjawab seorang seniman.

    Saya beritahu, bahwa kelompok sangat membutuhkan kehadirannya. Jika dia tidak hadir atau datang terlambat, bisa jadi kegiatan kelompok akan tersendat atau bahkan macet. Biasanya, pada hari latihan berikutnya, dia tidak terlambat lagi.

    Sekian lama bekerja dalam teater, saya telah mencatat berbagai hal. Lalu saya coba menuangkannya dalam tulisan. Catatan ini lebih merupakan kumpulan pengalaman lapangan, bukan kesimpulan baku yang didata dari survei ilmiah lalu menjadi pegangan yang kaku. Catatan-catatan saya hanya kumpulan berbagai informasi, catatan pinggir atau percik-percik pemikiran. Meskipun dalam arti yang lebih luwes,  catatan ini bisa juga disebut sebagai sikap dan pegangan kerja kelompok Teater Koma. Pegangan, yang sewaktu-waktu bisa berubah, seiring dengan gerak zaman.

    Di sekeliling kita, berbagai sumber kreatif mampu mencipta ‘peristiwa teater’. Dengan kepekaan seorang seniman, berbagai sumber kreatif itu bisa diserap untuk kemudian diproyeksikan kembali secara tajam. Saya sering merangkumnya sehingga menjadi naskah drama. Bagaimanapun, saya masih meyakini konsep teater teks sebagai dasar dan titik tolak menuju perwujudan peristiwa teater.

    Tapi naskah drama tulisan saya, juga bukan patokan kaku. Di dalam perjalanan, naskah punya kemungkinan berubah atau berkembang. Saya menganjurkan pemain-pemain saya untuk menggali jawaban tidak hanya dari teks. Peluang penggalian narasumber kreatif yang lebih luas justru lebih banyak terdapat di luar teks. Mereka bisa mencarinya di dalam kehidupan nyata, kemudian bersama-sama membahasnya di dalam forum latihan. Lalu memilih yang paling tepat sebagai bahan utama.

    Begitu keinginan berkelompok diikrarkan, saya harus siap berbuka hati dan sabar. Ada beberapa anggota yang sebelumnya tak tahu apa itu teater. Bahkan menonton pertunjukan teater pun tak pernah. Tapi karena dorongan teman, mendadak ingin masuk kegiatan teater. Apa harus ditolak? Tentu tidak. Pada kenyataannya, sikap ikut-ikutan semacam itu justru sering terjadi dalam dunia teater kita. Modalnya hanya semangat atau harapan tertentu. Jika teater dibayangkan sebagai sosok yang mengerikan, biasanya mereka akan segera lari. Tapi jika hanya dijanjikan tepuk tangan dan popularitas saja, kenyataannya sering tidak seperti itu. Lalu kita dianggap pembohong. Jadi, kenyataan mana yang harus diungkapkan?

    Saya akan bertindak untuk tidak menggambarkan berbagai kesulitan dalam berteater, sekaligus juga tidak menjanjikan apa-apa. Biarlah waktu yang akan membeberkan kenyataan. Latihan-latihan dasar yang diwajibkan, juga menjadi semacam alat seleksi. Memperkokoh dasar, nyatanya lebih berat dibanding latihan untuk pementasan. Tapi jika niat lahir dari keinginan yang kuat, biasanya daya tahan pun akan kuat. Jika tidak, mereka langsung hengkang. Sebab, teater ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pengalaman lapangan, usia, kematangan dan waktu, mengajarkan banyak hal yang berharga.

    Disiplin teater bukan disiplin mati, tapi disiplin hidup. Tanggungjawab yang diminta bukan karena paksaan tapi karena kebutuhan. Dan kerja bukan sebuah beban melainkan menjadi kumpulan kegembiraan. Teater, ibarat sebuah kegiatan yang dijalankan dengan dada lapang dan keikhlasan. Kejujuran. Sangat sederhana tapi bukan berarti mudah dilakukan.

    Catatan ini ditulis tidak dengan kehendak memaksa orang lain untuk mengikuti. Kenyataan lapangan yang saya alami, bukan satu-satunya jalan dalam berteater. Saya hanya ingin ‘mengajak untuk memahami’ apa yang sudah dan hendak dilakoni kelompok Teater Koma, yang usianya masih sangat muda. Di luar cara saya, tentu banyak cara lain, yang berbeda. Dan masing-masing cara, mungkin sama baiknya jika ditilik dari sisi peyakinan dan kebutuhannya.

    Semoga pembeberan ini tidak malah mengaburkan. Saya sadar, setiap cara pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tapi dari kekurangan, biasanya, lahir ketidakpuasan. Dan dari ketidakpuasan, seyogyanya, lahir upaya perbaikan. Dunia bergulir dan ‘marak’ karena upaya-upaya agar menjadi lebih baik. Itulah hidup. Itulah teater. Dan di titik itulah letak kekuatan seni pertunjukan; upaya memperbaiki diri. 

    Saya mulai mengenal teater pada 1965, saat masih SMA di Kota Cirebon. Saya bermain sebagai Scipion dalam Caligula karya Albert Camus. Saya yakin bermain buruk. Tapi saya merasa seakan menemukan dunia yang diimpikan selama ini.

    Saat itu, banyak anak muda yang suka berpuisi. Saya juga. Usia 16 tahun, semangat menggebu-gebu dan dengan pongah ingin menyaingi Shakespeare. Kegiatan saya berkisar antara ‘diskusi tentang puisi’ dan menerbitkan majalah dinding di sekolah. Kadang saya mengikuti lomba deklamasi (dan tidak pernah menang). Sekali seminggu membaca puisi di radio. Sejak itu, secara tak langsung, saya sedang mempersiapkan diri untuk menjalani semacam ‘upacara ritual’ memasuki dunia dambaan, teater. Memang belum terlalu pasti. Dan ayun langkah saya, diiringi dengan banyak pertanyaan.

    Saya samasekali tak menyangka, perjalanan kreatif mendorong saya jadi seperti sekarang ini. Nasib? Atau cuma kebetulan saja? Entahlah. Sering saya berkaca, bertanya mengapa. Tapi tak pernah ada jawaban pasti. Yang mengherankan, saya tak pernah menyesalinya. Paling tidak, hingga saat ini.

    Meski sering dijerat situasi buruk, saya tetap bahagia. Mungkin ini dunia saya, bagian dari nasib saya. Saya bersyukur karena diberi peluang untuk meraih banyak hal. Diberi kesempatan untuk menghargai. Salah satunya; menghargai segala hal. Biarlah orang berpendapat, ada sesuatu yang sangat buruk dan sama sekali tak ada harga. Saya tetap berusaha untuk menghargai. Pada tempatnya masing-masing, adakah ‘sesuatu’ yang samasekali tidak berharga? Saya meragukannya. Bahkan sebutir pasir, sampah ataupun kotoran hewan, pastilah punya harga. Pasti berguna bagi hal-hal tertentu. Nilai ‘yang sangat buruk’ itu, pastilah spesifik, khusus.

    Kesenian adalah ‘kehidupan’, sebuah inti-kehidupan. Dan kesenian telah menjalankan tugasnya dengan baik. Dia menaruh bagian-bagian yang dimilikinya, pada tempatnya. Dan punya harga. Saya mempercayai kesenian. Teater adalah kesenian. Segala unsur kesenian bermuara kepada teater. Teater memiliki peluang dan kemungkinan yang sangat luas, tergantung bagaimana si seniman memanfaatkannya.

    Begitu lulus SMA, 1967, saya langsung merantau ke Jakarta. Saya belajar dalam sebuah ‘akademi kehidupan’ di bawah bimbingan guru tunggal, Teguh Karya. Saya mendalami pengetahuan artistik, penyutradaraan dan penulisan.


    Jakarta memiliki wajah yang belang-bonteng. Kaya dan miskin, suram dan gemerlapan, gaduh dan sunyi, merah dan hitam, biru dan kelabu, membaur jadi satu dalam masyarakat yang mendambakan masa depan lebih baik, masa depan lebih berbahagia. Jakarta adalah pintu berbagai kemungkinan. Harapan dan putus-asa. Gedung-gedung tinggi mencakar langit dengan pongah. Tapi di dekatnya, berhimpitan gubuk-gubuk reot di kawasan yang kumuh. Gang-gang becek dan got-got mampet berbau busuk.

    Pada suatu hari, saya lewat sebuah pasar yang becek. Di sudut yang luput dari perhatian, nampak seorang lelaki tua. Tubuhnya renta, pakaiannya lusuh. Tapi dia bukan pengemis. Mungkin hanya urban yang gagal mengadu nasib di Jakarta. Di dekatnya membusuk gunungan sampah yang menghitam. Bau bacin. Tapi apa yang tengah dikerjakan lelaki tua itu? Dia bersembahyang di atas kertas karton yang dijadikannya sebagai sajadah. Dia bersembahyang dengan sangat khusuk, tak perduli sekeliling. Segenap isi pikirannya hanya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Sekuat daya saya menahan perasaan. Saya tak ingin dijebak keharuan, meski saya sangat terharu. Ketika lelaki tua itu menyelesaikan sembahyang dan mengucap salam, saya membalas salam. Saya segera berlalu dengan mata berkaca-kaca. Adakah yang sudah saya perbuat untuk dia? Sosok yang seakan tengah membusuk tapi tetap ingat Tuhan? Sosok yang bukan satu-satunya, sebab kita dikepung berjuta orang papa seperti dia. Terpinggirkan. Apa arti kesenian dan teater, bagi mereka? Adakah mereka memahami? Pernahkah mereka mendengar tentang Konstantin Stanislavsky, Bertolt Brecht, August Strindberg, Eugene O’Neill, Arthur Miller atau Meyerhold?     

    Teater modern disahkan kehadirannya lewat pengetahuan dan teori-teori. Mungkin itu yang jadi salah satu sebab, mengapa teater modern seakan barang mewah yang sulit terjangkau oleh orang kebanyakan. Hanya mereka yang berpendidikan saja yang mampu menikmati. Tapi haruskah seperti itu? Bukankah semua orang berhak menikmati kesenian? Tidak bisakah agak lebih disederhanakan? Bukankah teater rakyat memiliki kemungkinan menuju bentuk ‘penyederhanaan’ itu? Sederhana, bukan simplisitas.

    Lalu timbul kesimpulan; Teater Indonesia harus dilahirkan kembali tapi tidak selalu berpatokan kepada teori dari Barat. Sejak itu saya merasa, apa yang sudah saya serap, apa yang sudah saya lakukan, samasekali belum memadai.

    Lalu, saya mulai mengarahkan perhatian kepada teater rakyat kita yang sifatnya intim, tak resmi, spontan, bebas, jujur dan apa adanya. Saya tidak menyesal memiliki pengetahuan Teater Barat. Tapi saya tak ingin menelan mentah-mentah. Saya hanya ingin menjadikannya sebagai bahan studi banding. Hanya ingin mempelajari teknik pemanggungannya dan ‘memanfaatkannya’.

    Saya menyesal karena sudah melupakan milik sendiri. Pada 1968, saya merasa  teater tradisional dan teater rakyat kita bak baju wangi kamper yang tergantung dalam lemari terkunci. Jarang dipakai. Hanya disimpan dan dianggap pusaka. Riwayat mistiknya dikisahkan, aturannya disakralkan dan ditabukan. Teater tradisional kita bertahan dalam posisinya, hanya sebagai warisan tradisi belaka. Kekuatannya jarang ditimbang, apalagi dieksplorasi. Hanya sedikit yang kenal. Itu pun sering cuma sebatas kulit saja.

    Teater tradisi dan teater rakyat kita, banyak yang kemudian mati merana, tanpa diketahui di mana letak kuburannya. Musnah sejarahnya. Hanya sedikit yang coba memikirkan kemungkinan hadirnya teater rakyat dan teater tradisional ke dalam bentuk dan warna teater kita masa kini. Itu pun sering menuai berbagai penolakan karena dianggap berniat merusak warisan tradisi budaya bangsa.

    Ide-ide, pemikiran, cara penyajian, struktur penulisan cerita dan simbolisasinya, roh dan semangatnya, jarang sekali digali untuk dipahami atau dijadikan sumber ilham. Saya ingin menjadikannya sebagai bahan utama teater saya kelak. Itulah ikrar yang membuat saya kemudian berkeliling Nusantara, 1975, selama enam bulan.

    Teater dan kehidupan sehari-hari adalah dua hal yang saling berkaitan. Sebagai ilmu pengetahuan, mungkin bisa nampak terasing, kering dan sunyi. Hanya sedikit peminatnya. Tapi sebagai tontonan, teater harus membaur dengan kehidupan sehari-hari. Mimpi-mimpinya akrab, dan pemikirannya memiliki akar. Dia tak boleh mengajari tapi mengajak bersama-sama memecahkan berbagai masalah kehidupan. Dia hidup, dinamis dan bergerak tanpa sungkan, tanpa ragu. Dia tidak jauh dari masyarakatnya, menjadi media-kretif yang menjembatani dan menciptakan ‘komunikasi estetik’.

    Teater Indonesia harus mampu menembus berbagai batasan; bentuk, ruang, waktu, aturan, dan emosi. Dia harus mampu menyodorkan pemikiran-ulang berbagai konvensi serta memfasilitasi pikiran-pikiran baru yang bertujuan mulia; membuat kehidupan manusia jadi lebih baik. Bentuknya, mungkin merupakan campuran dari berbagai hal, seperti wajah Jakarta yang belang-bonteng. Dia harus bisa dinikmati oleh kaum terpelajar dan urban-gagal yang sebelumnya tidak pernah mengenal teater. Mengapa begitu? Karena teater lebih memihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. Dia harus  hadir untuk semua pihak yang membutuhkannya.

    Teater harus bicara, tidak dengan sentimen yang memihak dan mengandung prasangka. Teater sebaiknya memotret peristiwa, menyerap nilai-nilai estetik, lalu membeberkannya secara adil dan jitu, tanpa menyakiti.

    Teater harus membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang berguna bagi pengembangannya, tanpa terpengaruh dari mana pengaruh itu berasal. Teater harus menutup kemungkinan masuknya pengaruh buruk, meski pengaruh itu terbit dari dalam negeri sendiri. Realisme, surealisme, simbolisme, ekspresionisme, bukanlah jawaban. Yang utama, apa manfaatnya bagi kemanusiaan. Apa manfaatnya bagi kebahagiaan.

    ‘Apa yang akan kita sampaikan?’

    Rencana itu, sebagai titik tolak yang sangat penting.

    Pada dasarnya manusia cenderung tidak puas. Selalu tidak puas. Keinginan disusul oleh keinginan lain. Setiap saat, ada seorang murid yang menyalami gurunya dan sambil berlinang air mata mengucap, “Selamat tinggal guru, saya tidak akan melupakan guru”. Lalu sang murid pergi dan melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya.

    Detik berdirinya Teater Koma adalah awal dari sebuah babakan baru bagi saya. Baik dalam gaya penulisan, penyutradaraan, dan gaya berteater. Dalam penulisan,  saya mulai meninggalkan gaya ‘realisme romantik’ dan melangkahkan kaki ke babakan ‘pemotretan masalah dan membeberkannya tanpa menyakiti’. Pentas-pentas Teater Koma juga berusaha lebih masuk ke dalam lingkaran masyarakatnya. Luwes, intim, bebas, tidak resmi, spontan dan berseloroh. Gaya penyajian berseloroh, sumbernya dari sifat babakan ‘goro-goro’ dalam wayang, dan biasa disebut guyon parikeno.

    Jika ada yang menyatakan, merawat kelompok teater semudah membalikkan telapak tangan, maka saya berani bilang; yang berkata seperti itu adalah pembohong besar. Memimpin para seniman, bukan hal mudah.


    Setiap hari, bisa lahir berpuluh kelompok teater plus AD/ART-nya. Memang semudah itu. Hanya perlu sedikit keberanian (atau kenekatan), beberapa pendukung dan rencana pementasan. Mungkin pementasan bisa dilaksanakan. Lalu, sesudah itu? Bagaimana kelanjutannya? Mampukah kelompok berdiri ajeg di bawah hempasan badai waktu? Mampukah terus melahirkan seni pentas yang semakin berkualitas seiring pengalaman-batin dan usia? AD/ART bukan jawaban dari masalah. AD/ART hanya benda mati berupa sekumpulan aturan. Sedang kegiatan kreatif selalu bergantung kepada manusianya, senimannya.

    Teater lahir karena kebutuhan mewujudkan rasa estetik. Keindahan. Itu salah satunya. Kebutuhan yang lain adalah, ‘ingin menyampaikan sesuatu’. Pementasan, sebagai jawaban dari ‘keinginan menyampaikan sesuatu’ itu, sebaiknya lahir karena kebutuhan yang sifatnya lebih kultural. Jika kebutuhan ‘menyampaikan sesuatu’ itu hanya terdorong oleh sesuatu yang di luar kesenian, materi misalnya, maka boleh dibilang kegiatan itu tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Lalu bagaimana caranya agar kelompok teater tidak mati muda? Padahal, kebutuhan artistik (juga pembiayaan) dari waktu ke waktu bergerak terus? Luwes, itu jawabannya.

    Saya punya pengalaman unik saat melakoni masa persiapan produksi Rumah Kertas, pentas perdana Teater Koma itu. Ajakan-ajakan saya kepada beberapa seniman tak dipercaya begitu saja. Niat mendirikan kelompok teater baru, nyaris  dicurigai. Seakan-akan saya hendak mendirikan partai baru. Ketika beberapa seniman kemudian ikrar bergabung, masalah yang timbul berbeda pula. Setiap saat, kemampuan saya menyutradarai selalu diuji. Naskah yang sudah ada, seringkali drama karya saya sendiri, juga seringkali tidak begitu memuaskan dan harus selalu dikoreksi.

    Di lapangan, banyak benturan saya temui. Sebagai penulis, pendekatan saya lebih condong kepada imajinasi. Padahal, kenyataan panggung dan kemampuan para aktor juga harus dipertimbangkan. Belum lagi kemampuan pembiayaan yang harus diperhitungkan pula. Sebagai sutradara, saya harus menimbang banyak hal dari berbagai sudut. Dan tanpa ragu saya bisa merombak naskah, disesuaikan kembali berdasar kenyataan lapangan. Untunglah, untuk itu saya tak perlu meminta izin. Tapi segala peristiwa di dalam perjalanan proses kreatif itu, saya anggap sebagai sekolah. Saya menyerap semua masalah dan menjadikannya sebagai pembelajaran. 

    Teater Koma tidak lahir di sebuah panggung yang sudah tersedia. Pada masa awal, tempat latihan berpindah-pindah. Mulanya seorang simpatisan menyediakan beranda rumahnya. Jika tamu datang, terpaksa kami menyingkir ke area parkir atau halaman depan. Sering kami berlatih di garasi mobil yang sempit milik seorang anggota. Akhirnya kami berlatih di halaman depan sebuah restoran. Selama masa empat bulan latihan, pada bulan pertama kami harus berganti-ganti pemain. Mereka mengundurkan diri karena tidak tahan berlatih dengan cara nomaden seperti itu.

    Di benak saya, timbul lagi satu kesimpulan. Tempat latihan ternyata bukan hal yang  utama. Yang paling penting, justru, konsentrasi. Dan komitmen. Di dalam latihan, konsentrasi harus tajam dan terarah. Setiap kali latihan, pasti ada penonton tidak resmi yang kemudian berkomentar. Saya mengambil sisi baiknya. Paling tidak, komentar mereka bisa dianggap sebagai uji coba awal sebelum kami menggelar pentas di hadapan masyarakat yang lebih luas.

    Secara sadar saya melatih pemain untuk menghadapi penonton, di sebelah mana pun mereka menonton. Itu prinsip bermain dalam ‘teater arena’. Soal kondisi tempat latihan, kami menerima dengan iklas. Saya selalu mengandaikan penonton ada di sekeliling area permainan. Lalu mencari cara paling efektif agar semua dialog ‘sampai’ ke hati para penonton. Dengan demikian, komunikasi menjadi sangat penting. Itu cara bermain para aktor teater rakyat dalam menghadapi audiens-nya.

    Jika perkembangan Teater Koma disimak, maka nampak jelas kesulitan saya dalam mempersiapkan sebuah pentas. Pemain-pemain saya berasal dari kelompok teater yang berbeda-beda disiplin dan keyakinannya. Cara mereka meyakini dan melatih pendekatan terhadap karakter berbeda pula. Warna dialog mereka, jelas masih milik grup di mana mereka berasal. Tapi saya yakin, bakat mereka besar.

    Saya tidak mengubah cara mereka mengucap dialog, tapi memberikan pemahaman. Manfaat yang bisa saya petik adalah, semua berlomba menyajikan yang terbaik. Suatu persaingan sehat sengaja saya provokasi. Hasilnya optimal. Dalam hampir semua naskah yang saya tulis, selalu ada peluang untuk bermain bagus, sekecil apa pun peran di dalam naskah itu. Peluang itu kemudian digarap dalam penyutradaraan.

    Seringkali, seorang pemain, baru menyadari bahwa perannya sangat bagus, tepat pada malam pertama pementasan. Soal sesudahnya dia bermain bagus atau tidak, itu masalah lain. Yang penting dia sudah menyadari dan selanjutnya tidak akan lagi menganggap remeh peran apa pun. Jika dia mau berlatih dengan keras, apa pun peran yang dimainkan, pasti akan dirasakan juga ‘kehadiran’-nya.  Akan dikenang oleh diri sendiri dan penontonnya.

    Teater Koma memang tidak memulai dari nol samasekali. Aktor-aktrisnya, sebagian besar memiliki pengalaman bermain. Entah di panggung atau di dunia film. Tantangan saya yang terberat adalah menciptakan sebuah kesatuan bahasa pentas, dengan kekayaan yang sumbernya berasal dari berbagai perbedaan. Tujuannya adalah memunculkan daya tarik yang unik dan menggoda. Semangat kerjasama kekeluargaan dan kekompakan, juga harus senantiasa saya kondisikan.  

    Teater yang baik lahir dari ide yang baik, terkonsep, kerjasama, disiplin dan tanggungjawab. Disiplin? Ya, tapi bukan kediplinan yang kaku atau semu. Kegembiraan dalam kebersamaan bekerja, bisa dicipta oleh suasana saling menghargai dan saling mengisi. Kepentingan pertunjukan bukan melulu kepentingan satu individu, melainkan kepentingan kelompok. Jika hal semacam itu berhasil ditumbuhkan, rasanya tak perlu lagi ragu-ragu merencanakan sebuah pementasan.

    Bagi orang teater, kesimpulan di atas juga bukan hal yang baru. Sudah sejak lama  itu diketahui. Tapi makin menekuni kerja teater, semakin saya yakin bahwa hal itulah yang justru berperan sangat penting dalam meraih keberhasilan.

    Ambillah sebagai contoh, sebuah orkes simfoni. Ketika musik dimainkan, apa yang terjadi jika salah satu instrumen (misal, marakas atau triangle) tidak dibunyikan? Dan itu terjadi karena pemegang instrumennya mengantuk atau tertidur?  Akibatnya, seluruh orkestra akan rusak atau cacat. Penonton yang jeli akan pulang dengan membawa kesan buruk. Marakas atau triangle hanya sebuah instrumen yang kecil bentuknya dan nampak seakan tak berarti. Tapi, begitu komposer menetapkan bunyi itu dalam komposisi musiknya, dia memiliki nilai. Dia adalah bagian dari orkes. Dan penting.


    Tak beda dengan kerja penyutradaraan dalam perencanaan pentas. Jika sudah direncanakan sejak awal, semua materi memiliki nilai artistik yang sama besar. Apa pun yang ada di atas panggung, pasti berguna karena memang digunakan. Baik untuk kepentingan permainan atau untuk kebutuhan tata-rupa (visual).  Jika dianggap tidak penting, tentu tak akan dihadirkan di atas panggung.

    Lenong, ketoprak, masres (sejenis ketoprak di Cirebon), wayang orang, wayang golek, wayang kulit, tarling (gitar dan suling) dan cemeng (semacam ubrug), mempengaruhi bentuk teater saya. Malah, hampir semua jenis teater rakyat yang pernah saya tonton, punya andil dalam membentuk penyajian teater yang saya yakini. Jejer wayangkulit dan wayanggolek, sering saya gunakan untuk memecahkan bloking permainan. Jejer, adalah komposisi yang diam dan sunyi tapi indah dan mengandung dinamik yang unik. Berbicara tanpa banyak gerak, rasanya lebih menyiratkan dinamik laten masyarakat kita. Salah satu kekuatan dari ‘gerak’ kehidupan. Bukankah pernah kita dengar ungkapan ‘marah dalam diam’? Dalam hal ini, memang, apa boleh buat, dibutuhkan seorang aktor.

    Tarling, suatu bentuk seni musik di pesisir Cirebon, juga mewarnai musik teater saya. Gaya pengadeganan masres, ketoprak, lenong, opera bangsawan dan komedie stamboel, saya coba kembangkan sehingga akhirnya menjadi ‘gaya Teater Koma’.

    Teater rakyat memang banyak ragamnya. Baru beberapa saja yang bisa saya pahami. Sampai saat ini, saya masih berburu berbagai kemungkinan. Kelak saya berniat membaurkan semua kemungkinan teatral itu menjadi sebuah bentuk dan gaya yang mudah-mudahan akan menjadi ciri dari teater saya. Ciri yang tidak mandek pada sebuah titik, tapi berkembang dan menciptakan kemungkinan yang berbagai-bagai. Saya ingin membaurkan apa yang pernah saya serap. Saya ingin melahirkan semacam ‘adonan teatral’ yang bukan saja ‘sedap dipandang’, ‘enak dinikmati’ dan ‘menyatu’, tapi juga intim dengan masyarakatnya. Dekat. Akrab. Dan bermakna.

    Dengan jujur, tanpa kehendak merusak apa yang sudah kita miliki, barangkali teater saya (dengan ciri itu) kelak akan berdiri sejajar dengan sumber-sumber yang sudah mengilhami saya. Wujud dan isinya, secara keseluruhan, akan tetap memiliki perbedaan. Juga isi pikiran dan tujuannya. Tapi roh dan semangatnya tetap berakar kepada semangat rakyat dan tradisi. Kesederhanaan akan muncul sebagai sifatnya yang utama. Tapi kemiskinan dan keterbatasan tak akan menghambat kehadirannya.

    Hal itu hanya dimungkinkan oleh hadirnya sebuah grup teater yang kompak. Yang kian lama semakin dewasa dan matang, terus belajar dan mencari.

    Tapi melihat kenyataan yang ada, hal itu rasanya mustahil. Bukankah Teater Koma hanya sebuah grup teater amatir? Anggotanya sebagian besar tidak bekerja hanya untuk teater. Mereka berkumpul pada sore hari. Dan selama 4 jam sehari, 5 hari seminggu, berlatih menyiapkan sebuah pentas teater. Bisakah harapan saya terwujud? Memang, belum bisa saya jawab sekarang.

    Dalam setiap naskah saya, selalu ada lirik. Bisa diucapkan begitu saja, seperti sebuah dialog yang dipuisikan secara ritmis, tetapi bisa juga dinyanyikan, dirangkum menjadi lagu dan dimusiki. Saya cenderung menulis naskah-naskah yang punya kemungkinan dinyanyikan. Nyanyian, bisa sebuah rangkaian melodi yang sendu atau manis. Meski bisa juga merupakan kumpulan nada-nada yang sumbang, atau menggebrak dengan garang.

    Saya merasa, ‘pesan’ tertentu bisa lebih merasuk ke hati lewat nyanyian. Mungkin gaya ‘bernyanyi’ ini, kelak akan menjadi salah satu warna teater saya. Saya tengah mengembangkannya. Bukankah kita memiliki jenis teater tradisional yang bentuknya seperti itu? Langendriya atau Langendriyan, misalnya, dikenal sebagai bentuk ‘opera Jawa’ yang khas. Sebagian adegan dalam wayang orang, juga dinyanyikan. Opera Bangsawan dan makyong, meyakini bentuk ekspresi yang serupa pula.

    Benturan yang saya hadapi adalah, terutama, saat ini saya tak memiliki aktor-aktris yang bisa bermain sekaligus juga bisa bernyanyi. Saya juga tidak memiliki kelompok musik dan pencipta lagu handal yang memahami konsep teater saya.

    Dalam salah satu naskah saya, ada sebuah adegan kematian. Pacar seorang gembel yang wadam, mati tergencet bus di terminal. Musibah terjadi ketika sang pacar sedang mencari puntung rokok. Adegan itu adalah adegan untuk si wadam. Dia harus menumpahkan segenap kesedihan lewat nyanyian. Lagu dan musik untuk adegan itu sudah disiapkan. Mau tak mau, si pemeran wadam harus menyanyi.

    Bakat menyanyi si pemeran wadam, biasa-biasa saja. Suaranya sumbang. Tubuhnya kurang lentur dan gaya permainannya tidak istimewa. Dan yang paling celaka, dia memang tidak bisa bernyanyi. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Setiap kali latihan, adegan itu bagai duri dalam daging. Dan mungkin permainannya akan buruk jika saya terus bersikeras. Sudah jelas, si pemeran wadam tak akan mampu memenuhi apa yang saya ingin. Modalnya sebagai pemain sangat kurang. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, juga tidak bisa bermain sambil menyanyi.

    Selama satu bulan, latihan berjalan sendat dan selalu mandek pada adegan itu. Adegan sering dia wujudkan dengan air mata yang berderai-derai. Saya bilang, bukan air mata yang diinginkan adegan, tapi keharuan. Sebuah permainan dalam, yang getir. Dan dari kegetiran, penonton bisa tertawa sambil menangis. Itulah kehidupan kita. Konyol dan getir. Mungkin permintaan saya keterlaluan. Karena dia tetap tidak mampu melakukan apa yang saya minta.

    Akhirnya saya mengambil sebuah ‘alternatif’ yang agak riskan. Saya bebaskan dia dari semua ikatan; musik, not, ritme, ketukan, nada dan nyanyian. Dia boleh mengucapkan dialognya dengan bunyi yang dia rasa benar. Saya berharap, melodi atau ‘nyanyian’ akan tercipta dengan sendirinya.

    Ternyata, hasilnya di luar dugaan. Langkah ‘alternatif’ itu menemukan jalannya. Dia mampu bergerak dengan lebih bebas. Tak ada lagi ikatan. Tubuhnya meliuk-liuk lentur dan sumbangnya ‘nyanyian’ tak terasa lagi. Kesedihan, yang ‘dinyanyikan’, sangat meyakinkan. Adegan kematian itu sudah menjadi miliknya, bukan lagi milik naskah dan sutradara. 

    Dalam pementasan, dia sangat menguasai panggung. Permainannya total dan tuntas. Dia mampu mewujudkan apa yang saya ingin; kekonyolan yang getir. Geraknya yang kadang karikatural, sanggup mencipta lubang-lubang respons bagi penonton. Keharuan malah lebih muncul. Penonton tertawa sambil menangis. Dia jadi idola. Ternyata, kelemahannya adalah juga kekuatannya. Dan kekuatan itu berhasil dimunculkan saat berbagai aturan yang dirasakan sebagai ikatan, telah dilonggarkan dan diganti dengan pegangan bermain yang lebih dekat dengan kemampuannya. Dia adalah aktor Salim Bungsu, pemeran wadam dalam J.J (1979) dan Kontes 1980.


    Dengan kata lain, pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa seorang pemain yang paling lemah pun, jika kelemahannya dimanfaatkan secara tepat maka kelemahannya justru akan menjadi kekuatannya. Sutradara, di dalam hal ini, harus berlaku sebagai pemandu dan bukan sebagai instruktur yang mendikte. Sutradara harus mengarahkan secara luwes apa yang pemain mampu lakukan, yang nampak dari luar seakan sebagai kompromi, padahal itu jalan keluar yang simpatik dan memiliki daya kekuatan untuk mencipta kekayaan permainan.

    Itu, juga salah satu cara saya dalam membina pemain. Memberikan pemahaman. Menyadarkan kekuatan yang sesungguhnya sudah dimilikinya. Cara itu bisa lebih mengenai sasaran dibanding kukuh menggariskan ketentuan baku. Bukankah saya bekerja dengan pemain-pemain amatir? Dan adakah pemain yang profesional di Indonesia? Dengan pengertian, sanggup memerankan apa saja, dan karenanya dia memperoleh honorarium yang besar dari pekerjaannya? Bisa hidup dari pekerjaannya? Di negara kita, setahu saya, saat ini, belum ada profesionalisme semacam itu untuk teater.

    Memang, seorang aktor seharusnya sanggup mengontrol badan dan jiwa-nya, raga dan sukma-nya. Dia harus sanggup menggerakkan anggota tubuh bahkan yang paling halus sekalipun. Alat seorang aktor adalah raga dan sukma-nya. Alat itu harus bisa dimainkan dengan menarik, bebas, rileks, indah, dalam, bermakna. Dan di atas panggung, aktor harus bermain bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk penonton.

    Di masa lalu, seorang pemikir teater pernah menulis; “Pemain harus mereflektir bukan hanya refleksi dari imitasi kehidupan, tapi juga harus mempersembahkan idealnya dimana persembahannya itu harus menyatu sebagai suatu kebenaran, ditambah dengan keindahan”.

    Tapi seorang aktor Komedie Stamboel juga pernah menyatakan pendapatnya dengan contoh sangat sederhana; “Jangan biarkan penonton mengalihkan perhatiannya dari permainanmu. Jika penonton sempat makan kacang pada saat kau bermain, kau boleh menangis, sebab permainanmu sudah gagal”.

    Intinya, permainan harus mencipta daya pikat dan daya magnit. Padahal di setiap pentas teater rakyat, penonton bisa juga menikmati pertunjukan sambil minum wedang jahe dan makan kacang. Sementara di sebuah sudut gelap orang-orang asyik bermain dadu koprok, pentas masres tetap berjalan hingga subuh tanpa merasa terganggu.

    Ada sutradara teater yang berpendapat bahwa, pertunjukan bisa jelek dan membosankan jika kurang latihan. Sementara itu, lenong, ketoprak, masres dan Srimulat mampu menampilkan tontonan menarik hanya dengan latihan sesekali bahkan tanpa latihan. Jadi, mana yang harus dipilih? Mana yang benar? Teater masa kini, memiliki naskah yang harus dihafal dan dilatih.

    Saya memilih gabungan cara dari keduanya. Latihan naskah (atau tidak dengan naskah) mutlak perlu. Tapi saya menghindarkan diri bekerja secara mekanis dan dengan cara yang rutin. Latihan-latihan harus ada dalam suasana segar dan gembira. Jika tidak, perasaan bisa tertekan dan hasilnya akan berbalik menjadi buruk, kosong. Malah bisa sia-sia.

    Latihan harus didorong oleh niat ‘ingin berlatih’. Jika tidak, maka latihan hanya merupakan pengulangan tanpa pengembangan. Pernah terjadi, latihan naskah tidak saya lakukan karena beberapa aktor nampak lesu. Kemudian, waktu saya manfaatkan untuk membicarakan apa saja. Yang ringan dan yang lucu. Semua boleh saling memaki asal tidak membikin sakit hati. Hari itu, ruang latihan penuh ger. Kami tidak berlatih tapi berkeringat. Esok harinya, kesegaran nampak kembali. Daya berlatih malah tambah besar berkali lipat.

    Sejak pentas perdana, saya menulis naskah drama untuk kebutuhan grup. Setiap kali menulis naskah, saya tahu siapa akan bermain sebagai apa. Biasanya, sebelum saya menulis, saya ajak para calon pemeran membahas lakon. Lalu saya mengkaji-kaji kemampuan mereka. Bahkan bisa terjadi saya mengganti pemeran di tengah perjalanan latihan. Mungkin karena saya anggap kurang cocok. Dan hal itu sering terjadi.

    Untuk itu, saya selalu meminta supaya mereka sudi berbuka hati dan menerima kenyataan. Rasa tersinggung adalah salah satu segi yang bisa membahayakan emosi dan kekompakan sebuah kelompok. Apalagi pada dasarnya manusia selalu ingin diakui sebagai yang serba bisa. Padahal tentu saja, tidak selalu seperti itu.

    Itu sebabnya, setiap produksi selalu melewati proses latihan yang panjang. Keuntungan memiliki kelompok adalah, saya mengenal kekuatan dan kelemahan setiap anggota. Semua segi tak luput dari pengamatan. Cara yang saya pakai adalah membuka pintu peluang lebar-lebar, agar pemain berkembang mandiri. Tapi tentu ada koridornya; ukuran estetik dan artistik.

    Dan, ini yang paling penting, saya memupuk keberanian agar mereka memiliki rasa percaya pada kemampuan sendiri. Yang saya butuhkan, inisiatif. Sehingga tanpa instruksi pun, pekerjaan teater bisa dilakukan. Kalau hal itu sudah dimiliki, maka tanggungjawab dan disiplin akan lahir dengan sendirinya. Lalu teater akan menggelinding tanpa harus dikomandoi. Bergerak tanpa bisa dicegah lagi. Hidup. Indah. Bermakna.

    Sebuah ide adalah biaya. Sebuah biaya adalah kumpulan jerih payah. Jerih payah bisa mencipta sebuah hasil. Dan sebuah hasil adalah kemenangan atau kekalahan. Hal itu, nyaris merupakan sebuah aksioma.

    Pementasan yang lengkap, biasanya adalah pementasan yang mahal. Tapi pementasan yang mahal belum tentu pementasan yang berhasil. Pementasan teater tidak hanya ditunjang oleh sutradara dan pemain saja. Ada tata cahaya, set-dekor, property, koreografi, olah-suara, musik, efek spesial, busana dan rias wajah, juga manajemen produksi (termasuk publikasi dan penjualan karcis). Dan jangan lupa, penonton. Semua unsur ikut menunjang keberhasilan pementasan.

    Teater tidak digarap hanya untuk disimpan di dalam kamar. Teater harus dinikmati bersama audiens. Dengan begitu kehadirannya menjadi lengkap. Untuk bisa ditonton, teater membutuhkan tempat di mana seluruh penonton bisa berkumpul dan bersama-sama melakoni sebuah peristiwa teater. Tapi untuk melaksanakan semua itu, memang dibutuhkan biaya. Lalu dari mana biaya bisa didapat?

    Jika biaya tak memungkinkan untuk mewujudkan pementasan yang lengkap, tak perlu cemas dan putus-asa. Kalau niat kuat untuk ‘menyampaikan sesuatu’ lewat teater, segala kemungkinan bisa ditempuh. Tak perlu bingung jika fasilitas tata cahaya tidak memadai, gedung berakustik buruk, kostum mahal biayanya. Manusia memiliki akal. Demikian pula para seniman. Selalu ada alternatif. Justru di sini letak keseniannya. Kemiskinan sebaiknya jangan jadi penyebab kegiatan berteater stop. Grotowski sudah membuktikannya. Dia melahirkan konsep ‘teater miskin’. Lagipula, bukankah sejak dulu, teater kita miskin? Jadi, mengapa harus dipersoalkan lagi?

    Uniknya pementasan teater, juga berarti keunikan pencarian jalan keluar dari berbagai hambatan. Segalanya dikembalikan kepada diri sendiri. Kuatkah dorongan berteater? Atau lemah? Bukan melulu dari keserbaadaan muncul karya-karya besar, tapi biasanya, justru dari yang mulanya tak ada. Berawal dari kosong. Teater adalah karyacipta dari yang tiada menjadi ada.

    Tapi, sesungguhnya, orang teater kita tak memulainya samasekali dari nol. Jakarta punya Pusat Kesenian Jakarta-TIM dan 5 gelanggang remaja. Daerah membentuk dewan-dewan kesenian dan pusat kesenian. Pemda membangun gedung teater dan berbagai venue. Meski sering dipakai untuk acara pernikahan, sedikitnya gedung sudah ada. Puluhan tahun yang silam, saat belum banyak gedung teater, teater tetap bisa bergerak dan hidup. Berbagai pertunjukan yang bagus dan baik, lahir pula.


    Jika ada orang teater mengeluhkan tempat latihan, gedung pertunjukan, subsidi pemda yang terlalu kecil dan apresiasi penonton yang buruk, maka dia adalah orang teater yang malas. Mungkin lebih baik dia bekerja di bidang lain. Dunia teater tak cocok baginya. Selalu mengharapkan bantuan hanya sifat manja. Dengan adanya subsidi, memang kondisi teater menjadi agak lebih baik. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab lahirnya teater yang baik.

    Teater tidak harus lahir di pusat-pusat kesenian. Dia bisa lahir di pojok-pojok tempat pelacuran, di gudang sumpek, di tanah lapang yang becek, di hall penjara, atau di jalanan. Segalanya mungkin. Dan hanya orang teaterlah yang bisa melahirkan kegiatan berteater.

    Jadi, persoalannya memang hanya; mau atau tidak? Mampu atau tidak? Sesudah mau dan mampu, pertanyaan berikut adalah; punya daya tahan atau tidak? Jika tidak punya stamina, tanpa disuruh berhenti pun akan segera minggir dan menghentikan semua kegiatan berteater. Dan teater tak pernah kuatir karenanya. Hilang satu, yang lain akan segera menggantikan.

    Kelompok teater yang kompak bisa menjawab tantangan semacam itu. Orang teater yang teguh hati akan terus bekerja dan tidak mudah putus-asa.

    Dengan sigap dia akan menggantikan sesuatu yang sukar diperoleh dengan alternatif yang punya nilai estetik dan artistik serupa. Dia akan tahan menghadapi hantaman badai waktu dan dengan gembira tetap bekerja. Dia akan tampil dengan tegar dan jiwa besar, meski pakaian dan kehidupannya compang-camping. Keseniannya bagai rangkaian upacara ritual yang memang sulit dilaksanakan tapi bukan berarti kemandekan. Dia bekerja. Kesimpulan-kesimpulannya adalah hasil kerjanya dan bukan hanya keinginan di dalam hati atau di atas kertas saja. Kenikmatan-kenikmatan artistik yang diperoleh adalah kenikmatan yang tuntas. Kenikmatan ketika sambil tersenyum dia berkata, ‘Dan kesulitan mana lagi yang harus saya hadapi?’

    Baginya, teater merupakan kawasan tanpa istirahat. Teater bak peperangan tanpa selesai, yang akan dilewati tanpa keluh kesah, tanpa kerut dahi.

    Di dunia teater, mungkin dia seniman. Tapi di luar dunia teater, dalam kehidupan sehari-hari, dia juga manusia, anggota dari masyarakat yang lebih besar. Manusia yang lebur dalam persoalan yang juga dialami oleh mereka yang tidak bekerja di dunia teater. Dia tak akan mengeluh jika diberi tugas oleh ketua RT/RW untuk ikut siskamling atau kerja bakti, misalnya. Sebagai anggota kelompok masyarakat, semua orang memiliki tugas dan kewajiban sosial yang harus dikerjakan. Tak ada prioritas. Orang teater sejati, tidak akan mengasingkan diri. Dia ada dan hadir di tengah masyarakatnya. Sebab, justru di situlah letak inti sumber dari daya kreatifnya. 

    Teater Koma sedang menyiapkan diri ke arah maksud-maksud seperti itu. Teater Koma, berniat mewujudkan ide-ide yang nampak sepele, tapi dasar pijakannya kuat dan punya akar. Berniat menjadi daya semangat. Dan ibarat sumber air, senantiasa memancarkan kejernihan, kemudian menggenang jadi telaga. Jadi wadah kehidupan bagi ikan-ikan serta mahluk air lainnya. Keseniannya ibarat remah-remah nasi bagi seorang gembel, dan rempah-rempah dalam masakan. Posisinya bagai sebatang rumput dari kumpulan rumput di padang rumput. Hadir, akrab dan intim dengan masyarakatnya.

    Teaternya adalah gabungan dari teater masa lalu dan berbagai pemikiran masa kini. Meski begitu, ada kesadaran, bahwa, untuk mewujudkan hasil seni pertunjukan yang baik, jelas dibutuhkan proses serta perjalanan yang panjang. Tapi, tidak perlu tegang dan tergesa-gesa.

    Jika tetap bekerja keras, waktu jua yang akan menjawab, apakah hal itu mungkin atau tidak mungkin. Saya merasa yakin, mungkin terwujud. Rahasianya: selalu bekerja keras. Disiplin. Bertanggungjawab. Gigih. Jujur. Tulus. Luwes. Dan semua persyaratan itu baru ada jika ada komitmen.

    Catatan ini saya tulis pada 10 Januari 1980. Dan kelak, semoga tetap dipakai oleh kelompok sebagai dasar dalam menyikapi kesenian dan kebudayaan. Ada Kode Etik yang merupakan pegangan hati jika secara tulus berikrar menjadi anggota Teater Koma.

 



KODE ETIK TEATER KOMA

 

ETIKA

  1. Tulus Menghargai dan Berterimakasih kepada Alam dan Kehidupan.
  2. Tahudiri, Memahami, Tidak Membenci.
  3. Jujur, Tenggangrasa, Mencintai Sesama.
  4. Yang Tua menghargai Yang Muda, Yang Muda menghargai Yang Tua.
  5. Bersikap dan Bertindak Tepat, Pada Waktu, Tempat dan Suasana yang Tepat.
  6. Percaya TEATER adalah Jalan Menuju Kebahagiaan.
  7. Berwatak Bagai Air: “Senantiasa berupaya berada di tempat rendah, jika terhambat berhenti sejenak, lalu bergerak ke kiri atau ke kanan atau merembes dan muncul di sebalik hambatan, kemudian BERJALAN menuju TUJUAN; memaknai Lautan”.

 

SETIA

  1. Setia kepada Hati Nurani.
  2. Setia kepada Tugas dan Pekerjaan.
  3. Setia kepada Tanggungjawab, Kerjasama dan Kedisiplinan.
  4. Setia kepada Kelompok dan Rumah Kelompok.
  5. Setia kepada Tujuan; KEBAHAGIAAN.

 

GUYUB

Anggota adalah Matarantai Enerji Kreatif Dalam Ikatan Persaudaraan Berdasar KASIH.