Tak beda dengan kerja penyutradaraan dalam perencanaan pentas. Jika sudah direncanakan sejak awal, semua materi memiliki nilai artistik yang sama besar. Apa pun yang ada di atas panggung, pasti berguna karena memang digunakan. Baik untuk kepentingan permainan atau untuk kebutuhan tata-rupa (visual).  Jika dianggap tidak penting, tentu tak akan dihadirkan di atas panggung.

    Lenong, ketoprak, masres (sejenis ketoprak di Cirebon), wayang orang, wayang golek, wayang kulit, tarling (gitar dan suling) dan cemeng (semacam ubrug), mempengaruhi bentuk teater saya. Malah, hampir semua jenis teater rakyat yang pernah saya tonton, punya andil dalam membentuk penyajian teater yang saya yakini. Jejer wayangkulit dan wayanggolek, sering saya gunakan untuk memecahkan bloking permainan. Jejer, adalah komposisi yang diam dan sunyi tapi indah dan mengandung dinamik yang unik. Berbicara tanpa banyak gerak, rasanya lebih menyiratkan dinamik laten masyarakat kita. Salah satu kekuatan dari ‘gerak’ kehidupan. Bukankah pernah kita dengar ungkapan ‘marah dalam diam’? Dalam hal ini, memang, apa boleh buat, dibutuhkan seorang aktor.

    Tarling, suatu bentuk seni musik di pesisir Cirebon, juga mewarnai musik teater saya. Gaya pengadeganan masres, ketoprak, lenong, opera bangsawan dan komedie stamboel, saya coba kembangkan sehingga akhirnya menjadi ‘gaya Teater Koma’.

    Teater rakyat memang banyak ragamnya. Baru beberapa saja yang bisa saya pahami. Sampai saat ini, saya masih berburu berbagai kemungkinan. Kelak saya berniat membaurkan semua kemungkinan teatral itu menjadi sebuah bentuk dan gaya yang mudah-mudahan akan menjadi ciri dari teater saya. Ciri yang tidak mandek pada sebuah titik, tapi berkembang dan menciptakan kemungkinan yang berbagai-bagai. Saya ingin membaurkan apa yang pernah saya serap. Saya ingin melahirkan semacam ‘adonan teatral’ yang bukan saja ‘sedap dipandang’, ‘enak dinikmati’ dan ‘menyatu’, tapi juga intim dengan masyarakatnya. Dekat. Akrab. Dan bermakna.

    Dengan jujur, tanpa kehendak merusak apa yang sudah kita miliki, barangkali teater saya (dengan ciri itu) kelak akan berdiri sejajar dengan sumber-sumber yang sudah mengilhami saya. Wujud dan isinya, secara keseluruhan, akan tetap memiliki perbedaan. Juga isi pikiran dan tujuannya. Tapi roh dan semangatnya tetap berakar kepada semangat rakyat dan tradisi. Kesederhanaan akan muncul sebagai sifatnya yang utama. Tapi kemiskinan dan keterbatasan tak akan menghambat kehadirannya.

    Hal itu hanya dimungkinkan oleh hadirnya sebuah grup teater yang kompak. Yang kian lama semakin dewasa dan matang, terus belajar dan mencari.

    Tapi melihat kenyataan yang ada, hal itu rasanya mustahil. Bukankah Teater Koma hanya sebuah grup teater amatir? Anggotanya sebagian besar tidak bekerja hanya untuk teater. Mereka berkumpul pada sore hari. Dan selama 4 jam sehari, 5 hari seminggu, berlatih menyiapkan sebuah pentas teater. Bisakah harapan saya terwujud? Memang, belum bisa saya jawab sekarang.

    Dalam setiap naskah saya, selalu ada lirik. Bisa diucapkan begitu saja, seperti sebuah dialog yang dipuisikan secara ritmis, tetapi bisa juga dinyanyikan, dirangkum menjadi lagu dan dimusiki. Saya cenderung menulis naskah-naskah yang punya kemungkinan dinyanyikan. Nyanyian, bisa sebuah rangkaian melodi yang sendu atau manis. Meski bisa juga merupakan kumpulan nada-nada yang sumbang, atau menggebrak dengan garang.

    Saya merasa, ‘pesan’ tertentu bisa lebih merasuk ke hati lewat nyanyian. Mungkin gaya ‘bernyanyi’ ini, kelak akan menjadi salah satu warna teater saya. Saya tengah mengembangkannya. Bukankah kita memiliki jenis teater tradisional yang bentuknya seperti itu? Langendriya atau Langendriyan, misalnya, dikenal sebagai bentuk ‘opera Jawa’ yang khas. Sebagian adegan dalam wayang orang, juga dinyanyikan. Opera Bangsawan dan makyong, meyakini bentuk ekspresi yang serupa pula.

    Benturan yang saya hadapi adalah, terutama, saat ini saya tak memiliki aktor-aktris yang bisa bermain sekaligus juga bisa bernyanyi. Saya juga tidak memiliki kelompok musik dan pencipta lagu handal yang memahami konsep teater saya.

    Dalam salah satu naskah saya, ada sebuah adegan kematian. Pacar seorang gembel yang wadam, mati tergencet bus di terminal. Musibah terjadi ketika sang pacar sedang mencari puntung rokok. Adegan itu adalah adegan untuk si wadam. Dia harus menumpahkan segenap kesedihan lewat nyanyian. Lagu dan musik untuk adegan itu sudah disiapkan. Mau tak mau, si pemeran wadam harus menyanyi.

    Bakat menyanyi si pemeran wadam, biasa-biasa saja. Suaranya sumbang. Tubuhnya kurang lentur dan gaya permainannya tidak istimewa. Dan yang paling celaka, dia memang tidak bisa bernyanyi. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Setiap kali latihan, adegan itu bagai duri dalam daging. Dan mungkin permainannya akan buruk jika saya terus bersikeras. Sudah jelas, si pemeran wadam tak akan mampu memenuhi apa yang saya ingin. Modalnya sebagai pemain sangat kurang. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, juga tidak bisa bermain sambil menyanyi.

    Selama satu bulan, latihan berjalan sendat dan selalu mandek pada adegan itu. Adegan sering dia wujudkan dengan air mata yang berderai-derai. Saya bilang, bukan air mata yang diinginkan adegan, tapi keharuan. Sebuah permainan dalam, yang getir. Dan dari kegetiran, penonton bisa tertawa sambil menangis. Itulah kehidupan kita. Konyol dan getir. Mungkin permintaan saya keterlaluan. Karena dia tetap tidak mampu melakukan apa yang saya minta.

    Akhirnya saya mengambil sebuah ‘alternatif’ yang agak riskan. Saya bebaskan dia dari semua ikatan; musik, not, ritme, ketukan, nada dan nyanyian. Dia boleh mengucapkan dialognya dengan bunyi yang dia rasa benar. Saya berharap, melodi atau ‘nyanyian’ akan tercipta dengan sendirinya.

    Ternyata, hasilnya di luar dugaan. Langkah ‘alternatif’ itu menemukan jalannya. Dia mampu bergerak dengan lebih bebas. Tak ada lagi ikatan. Tubuhnya meliuk-liuk lentur dan sumbangnya ‘nyanyian’ tak terasa lagi. Kesedihan, yang ‘dinyanyikan’, sangat meyakinkan. Adegan kematian itu sudah menjadi miliknya, bukan lagi milik naskah dan sutradara. 

    Dalam pementasan, dia sangat menguasai panggung. Permainannya total dan tuntas. Dia mampu mewujudkan apa yang saya ingin; kekonyolan yang getir. Geraknya yang kadang karikatural, sanggup mencipta lubang-lubang respons bagi penonton. Keharuan malah lebih muncul. Penonton tertawa sambil menangis. Dia jadi idola. Ternyata, kelemahannya adalah juga kekuatannya. Dan kekuatan itu berhasil dimunculkan saat berbagai aturan yang dirasakan sebagai ikatan, telah dilonggarkan dan diganti dengan pegangan bermain yang lebih dekat dengan kemampuannya. Dia adalah aktor Salim Bungsu, pemeran wadam dalam J.J (1979) dan Kontes 1980.