TEATER 100 KURSI



Lalu, jarak pun hilang
Pemain dan penonton menyatu
Dalam sebuah peristiwa



Karcis di tangan, lalu kita masuk gedung teater sebagai penonton. Lampu auditorium meredup, padam, layar membuka. Di panggung, adegan demi adegan berjalan hambar seakan tanpa urat dan darah. Kita duduk kikuk di kursi. Gelisah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Suasana yang memaksa kita menjadi ‘resmi’, sungguh amat sangat menyiksa. Batuk, dehem, pendeknya bunyi ataupun gerak, adalah tabu, apalagi komentar spontan, celetukan.

Haruskah kikuk, gelisah dan tersiksa? Lalu panggung pun menjadi semacam etalase yang samar, jauh, tak terjangkau. Ada jarak yang tegas, yang membuat garis pemisah antara penonton dan pelakon. Bukan sebuah peristiwa yang hidup, yang sedang kita tonton, melainkan telop demi telop dilengkapi dengan keterangan gambar berupa dialog-dialog tegang. Lalu di mana tempat pelakon? Di sebelah mana penonton berhak menempatkan diri?

Sebuah karcis tanda masuk, bukan hanya sekedar karcis, tapi di dalamnya terkandung berbagai harapan. Karcis yang diperoleh seharusnya bukan paksaan melainkan kebutuhan. Dan para pemegang karcis, tidaklah harus menjadi korban keinginan egoistis dari para pembuat lakon, para pembuat pertunjukan itu. Harus ada komunikasi, yang terungkap lewat visi dari si pembuat lakon, bentuk pengucapan/ekspresi serta upaya mengajak serta penonton untuk ‘masuk’ ke dalam peristiwa lakon, menjadi bagian dari lakon. Dan menikmati. Hidup di dalamnya.

Kesenian, seperti juga ilmu pengetahuan dan agama, adalah ‘Hiburan’ bagi kita dan membikin hidup menjadi lebih punya makna, lebih punya nilai. Teater memiliki fungsi dasar seperti itu pula. Tentu ada yang ingin diucapkan lewat teater, ada yang ingin disampaikan. Bisa dipahami pada masa kini atau kelak, bukan soal. Sebuah karya yang baik, tetaplah akan baik untuk kapan pun. Ia akan sanggup menembus zaman, agama, geografi, maupun ras. Ia akan universal, sebab ukuran yang dipakai dalam menikmati karya seni adalah rasa dan bukan melulu pikiran. Pikiran, terlebih lagi, rasa, tidak mungkin bisa dibelenggu. Ia sebebas langit.

Saya menyadari lama, jauh sebelum saya membentuk kelompok Teater Koma. Perkumpulan Kesenian ini tidaklah harus menjadi barang asing bagi masyarakatnya. Teater Koma harus akrab, intim, luwes dan tentu saja menghibur. Seperti sebuah pohon, masyarakat adalah tanahnya. Atau bagai ikan, masyarakat adalah airnya. Tanpa tanah ataupun air, pohon dan ikan tak mungkin bisa hidup.

Dengan sikap seperti itulah, Teater Koma, alhamdullillah, masih bisa bertahan hingga kini. Dengan penggemar yang tidak kurang, meski bukannya tanpa kritik. Kami tak habis mengucap terimakasih kepada masyarakat. Terimakasih kepada mereka yang menonton, kritikus atau mereka yang hanya mendengar atau membaca kegiatan kami, simpatisan serta sahabat yang tak bosan memberi masukan sehingga kami tidak merasa sendirian.

Setelah melewati usia sebelas tahun, kemudian saya menyadari, haruslah ada motivasi baru, sasaran baru yang membuat kiprah jadi lebih semarak. Lewat berbagai diskusi dalam kelompok maupun dengan beberapa sahabat di luar kelompok, akhirnya saya mengambil satu kesimpulan, bahwa, Teater Koma harus memiliki basis kegiatan yang tetap. Bukan sekedar tempat latihan, tapi sebuah bangunan teater, sebuah gedung pertunjukan!

Gedung pertunjukan? Bukankah itu mustahil? Dana untuk mencapai keinginan seperti itu tentu tidak kecil. Bagaimana mungkin?

Lama saya menimbang-nimbang apakah keinginan seperti itu memang benar-benar mustahil. Lama saya membuka-buka buku dan membaca sejarah teater, Indonesia maupun dunia. Bagaimana Broadway bisa dikelola dengan baik. Bagaimana West End seakan tidak pernah kekurangan penonton. Bagaimana grup-grup teater di Jepang sebagian besar memiliki gedung pertunjukannya sendiri. Bagaimana sebuah grup teater di Prancis memiliki gedung teater hanya dengan kapasitas penonton 70 kursi tapi berhasil memanggungkan The Chair karya Eugene Ionesco hingga lebih dari 20 tahun. Bagaimana kelompok Miss Riboet Orion dan Dardanella dan Bintang Soerabaja ataupun grup-grup opera pada 1920-an sanggup menjamin hidup para anggotanya. Atau yang paling kongkrit di depan mata (meski lintang pukang dan ngos-ngosan): Srimulat, Wayang Orang Bharata dan Miss Cicih.

Tidak, sesungguhnya tidak mustahil. Kita memiliki tradisi Dardanella, Miss Riboet Orion, Bintang Soerabaja. Penonton teater sudah terbina sejak masa-masa itu, kemudian dilanjutkan oleh ATNI di tahun 1960-an, Teater Populer bersama Teguh Karya, Teater Kecil dan Rendra. Apa yang disebut impresario sudah ada sejak tahun 1920-an di Jawa dan Sumatera. 

Dengan kata lain, profesionalisme sebetulnya sudah pernah jadi milik kita. Lalu mengapa hal itu kemudian seperti mati angin dan tidak berlanjut? Apakah orang-orang teater masa kini tidak lagi punya grengseng untuk mempelajari pengelolaan teater di masa lampau itu? Dan cukup puas hanya dengan kegiatan sesekali saja? Inilah yang sebetulnya menjadi masalah utama Teater Indonesia saat kini.

Teguh Karya, guru saya yang terhormat, pernah pada suatu ketika mencetuskan keinginannya untuk membuat Teater Dalam Gang. Cukup dengan 200 kursi saja, katanya. Itu sekitar tahun 1970-an. Tapi hingga kini, keinginannya itu tetap tinggal keinginan, seakan gaungnya sudah lenyap tanpa bekas. Joni Gudel pernah pula diberi sebuah gedung bagus di kawasan Monas, Jakarta, untuk dikelola begitu dia hengkang dari Srimulat.
Tapi itu pun tidak berkesinambungan lagi. Barangkali lantaran Joni Gudel hanya mengandalkan lawakan, dan ketika masyarakat sudah bosan dengan model lawakannya, mereka akan mencari sesuatu yang lain, lalu Joni Gudel pun ditinggalkan.

Saya bersama Teater Koma, akhirnya sampai pada niatan untuk mewujudkan satu soal yang sangat sulit tapi menggoda itu; sebuah teater dengan kapasitas 100 kursi, yang saya beri nama TEATER 100 KURSI.

Melihat jumlah penonton Teater Koma pernah mencapai 16.000, hal itu tidak menjadi terlalu mustahil. Tinggal lagi, ini yang paling utama, bagaimana cara mendapatkan modal serta izin dari pemda dan dari mana dana bisa diperoleh. Teater Koma bukan kelompok yang kaya. Sampai saat ini, aset yang kami miliki hanyalah semangat, kekompakan dan pengalaman 11 tahun mengelola pementasan teater.  

Bagaimana cara kami nantinya menangani TEATER 100 KURSI itu? Dengan cara mengajak penonton menjadi anggota tetap yang membayar iuran. Jika anggota kami cuma 1000, pentas pun akan digelar hanya dalam 10 malam. Tapi kalau anggota yang terjaring berjumlah sekitar 1500, pentas akan menjadi 15 malam. Begitu seterusnya. Frekuensi pementasan per tahun, akan ditentukan berdasarkan jumlah anggota penonton. Yang menarik adalah, setiap usai pertunjukan, selalu ada kesempatan untuk saling bertemu; antara pelakon dan penonton, dengan sedikit jaburan serta minuman ringan. Kita bisa diskusi, ngobrol ringan atau sekedar bertemu saja. Dengan cara semacam itu, diharapkan, kami bisa saling mengenal.

Pusat Kesenian Jakarta/TIM ataupun TVRI, tidak akan kami tinggalkan, sebab kami selalu merasa di dua tempat itulah kami dibesarkan. Kami akan tetap membikin produksi untuk TIM dan TVRI. Dan kini, bukankah kami juga memiliki Gedung Kesenian Jakarta sebagai wadah berekspresi?

Apakah keinginan memiliki TEATER 100 KURSI adalah sesuatu yang mustahil? Tidak, jika akhirnya kami menemukan seorang donatur atau maesenas yang bukan saja kaya tapi juga memiliki niat yang sama dengan kami, bahwa Teater Indonesia memang sudah saatnya dikelola secara profesional dengan kegiatan yang ajeg, dan para pekerjanya bisa hidup dari hasil kerjanya.

Hingga kini, kami belum menemukan orang yang tepat untuk menunjang impian itu. Atau, Anda barangkali?


  Jakarta, Maret 1988.
  (Dari tulisan dalam katalog OPERA PRIMADONA, TEATER KOMA 1988)