RENDRA





Pertamakali saya bertemu langsung dengan WS Rendra, terjadi pada April 1968. Dia baru pulang dari Amerika Serikat dan membawa oleh-oleh, yang bagi Teater Indonesia, boleh dibilang asing. Geger tentu saja. Goenawan Mohamad menyebutnya, ‘Teater Mini Kata’. Itulah latihan-latihan dasar teater, yang menjadi sangat menarik ketika dipertunjukkan. Memang minim kata, nyaris hanya terdiri dari gerak dan bunyi. Meski begitu, pementasannya penuh makna. 


Waktu itu, saya mahasiswa ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) dan anggota Teater Populer. Saya sudah melakukan pelatihan dasar teater selama berbulan-bulan tapi samasekali tak tahu kapan bakal naik pentas. Teguh Karya, guru kami, ikut pentas ‘teater mini kata’ Rendra. Entah bagaimana asal-muasalnya sehingga dia sampai terlibat. Belakangan, Rendra mengakui, Teguh Karya adalah dramawan yang berhasil mempengaruhinya sehingga dia bergiat dalam dunia teater. Dua anggota Teater Populer, Sylvia Nainggolan dan Dewi Sawitri (kini Doktor Psikologi), terlibat pula dalam ‘teater mini kata’ itu. 

Pentas ‘teater mini kata’, yang digelar di auditorium Direktorat Kesenian (letaknya di belakang Gedung Toserba Sarinah Jalan Thamrin) pada April 1968, sungguh memukau. Nomor-nomor yang disajikan, antara lain; Bipbop, Piip, Di Manakah Kau Saudaraku, Rambate-Rate-Rata, dan Vignet Katakana. Kiprah para aktor yang mengusung pentas itu begitu inspiratif. Rendra, menjadi bintang yang menawan. Juga Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baldjun, dan Syubah Asa. Ada pula aktor-aktor lain yang tak kalah menarik. Dalam sebuah nomor, Teguh Karya hanya menyuarakan bunyi “Zzssszzzz …. Zzssszzzz …” saja. Dan Putu Wijaya berulang-ulang mengucap “Bipbop .. ” Dalam sebuah nomor lagi, Amak Baldjun pasang konsentrasi penuh dan samasekali tak terganggu, meski Chaerul Umam dengan berbagai cara coba menggodanya dengan tawa dan tindakan-tindakan yang lucu.

Sepulang dari pertunjukan, kami mendiskusikan apa yang barusan diserap. Diskusi berlangsung seru. Dan, sungguh suatu kebahagiaan, ketika beberapa hari kemudian Rendra berkenan mengunjungi tempat latihan kami. Teater Populer dicap sebagai ‘teater borjuis’. Kadang malah disebut ‘teater kaya’. Tidak heran, sebab kami berlatih di Bali Room Hotel Indonesia. Tak jarang, pada siang hari, kami menggunakan Madura Room atau Kelab Malam Nirwana sebagai tempat berlatih. Tapi, dalam berbagai hal, sesungguhnya kami sama miskin dengan seniman-seniman teater lainnya di Jakarta. Untuk makan siang, kami terpaksa bantingan. Dan jatah makan siang masing-masing anggota hanya sebuah bacang ketan isi daging sapi. Minumnya, air putih yang dicucup langsung dari keran wastafel hotel. Meski begitu, kami tidak marah dengan segala macam ‘ejekan’ itu. Kami tengah berusaha untuk berteater. Itu cukup.

Rendra juga sempat membikin geger jagat deklamasi. Dia menyodorkan cara membaca puisi yang ‘sangat biasa’ dan tentu saja berbeda dengan kebiasaan ‘berdeklamasi’ selama ini, yang selalu dilantunkan secara ‘dramatis’ dan patos. Tapi harus diakui, cara Rendra membaca puisi adalah cara yang kemudian ditiru oleh banyak pembaca puisi di seluruh Indonesia. Hingga kini. Mengapa? Karena cara Rendra membaca puisi, begitu indah dan melodius. Dia seakan tengah menyanyi. Dan gayanya, betul-betul memukau. Menyihir para pemerhati.

Dalam pertemuan di tahun 1968 itu, Rendra mengajak kami melatih tubuh dan jiwa lewat nomor latihan yang dia sebut ‘gerak kalbu’ atau ‘gerak indah’. Beberapa waktu kemudian, Sardono W. Kusumo, yang juga baru pulang dari Amerika Serikat, berkunjung pula ke tempat kami berlatih. Dia menyajikan cara berlatih yang nyaris serupa. Intinya, dengan mengambil tema tertentu, tubuh bergerak karena dorongan jiwa. Gerak bisa distimulasi oleh suara musik atau bisa juga oleh ‘suara jiwa’ kita sendiri. Sama sekali tak ada pola gerak. Seluruh gerak terjadi secara spontan. Begitu saja. Yang pokok, dimulai dengan konsentrasi penuh dan jujur. Itulah metoda ‘latihan tubuh dan jiwa’ yang, bagi kami, boleh dibilang baru. Kami melakukannya dengan sungguh-sungguh.  

Rendra bicara detil mengenai ‘sikap berteater’. Dia juga mengungkap tentang pemberontakannya terhadap tradisi dan kebiasaan. Jakob Soemarjo, dalam bukunya, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, (Penerbit STSI Press, 2004), menulis; “Bip Bop pada dasarnya adalah manifestasi pemberontakan Rendra terhadap tradisi dan kebiasaan. ‘Kalau orang mempertahankan kebiasaan sebagai sesuatu yang absolut, orang itu memihak kepada kematian’ ujar Rendra. Kata-kata itu juga diulanginya lagi ketika pementasannya di Seni Sono Yogya dilempari batu oleh penonton.” Rendra teguh mempertahankan pandangan mengenai pembaruan dalam seni teater. Diskusi yang terjadi pada 1968, berjalan begitu asyik. Saya sangat terkesan.

Pengaruh ‘gerak kalbu’ atau ‘gerak indah’, luar biasa. Tak bisa dipungkiri, produksi pertama Teater Populer yang berjudul Tjahaya Untuk Pahlawan, jelas diilhami latihan nomor-nomor ‘gerak indah’. Pentas berdurasi 20 menit, yang digelar pada akhir Agustus 1968 di Bali Room Hotel Indonesia itu, mengawali pemutaran film Sembilan karya sutradara Wim Umboh. Para aktor Teater Populer yang terlibat dalam pentas itu, antara lain; Dicky Zulkarnaen, Mieke Wijaya, Slamet Rahardjo, N. Riantiarno. Harijadi Teater Populer memang dipatok pada 14 Oktober 1968, pas pentas Ghost karya Ibsen dan Antara Dua Perempuan di Balai Budaya Jakarta. Tapi, bagaimanapun, Tjahaya Untuk Pahlawan adalah pentas pertama Teater Populer. Dan dalam banyak hal, pengaruh ‘gerak kalbu’ Rendra amat terasa.

Setelah Bip Bop, Rendra pulang ke Jogyakarta dan berkiprah bersama Bengkel Teater yang dia dirikan. Tapi, teaternya dicap oleh penguasa sebagai kegiatan yang berbobot politik dan membahayakan stabilitas nasional. ‘Rendra berpolitik lewat puisi dan teater’, begitu pandangan para penguasa yang mulai cemas.
Teater Populer pun mulai menggelar banyak pementasan. Arifin C. Noer, hijrah dari Solo ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil. Sedangkan Suyatna Anirun, melanjutkan kiprah Jim Adilimas dan menjadi motor utama penggerak kegiatan Studiklub Teater Bandung. “Akhir tahun 1970-an hingga 1980-an, adalah Zaman Keemasan Teater Modern Indonesia”, tulis Jakob Soemardjo pula. 

Dalam novel Cermin Bening, yang merupakan ‘Trilogi Cermin Bagian Dua’, saya menulis; “Aku mempelajari pentas-pentas Bengkel Teater Yogya. Pemimpinnya, WS Rendra, selain penyair juga dianggap sebagai pemuka kaum muda yang anti kemapanan. Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra menggebrak dengan berbagai eksperimen. Dia membongkar bentuk, isi dan konvensi (aturan), lalu menyajikan nomor-nomor gerak (dan bunyi). Bentuk itu kemudian disebut Teater Mini Kata. Bunyi ‘bipbop’ diucap oleh para aktor. Gerak lebih mendominasi. Pengaruh Rendra di kalangan anak muda semakin besar. Dia menjadi idola. Kritik-kritiknya pun tambah berani dan sindiran politik dalam setiap pementasannya selalu bikin merah kuping pihak penguasa. Sebagai akibat, kegiatan kesenian Rendra diawasi aparat dengan sangat ketat.” (Cermin Bening, N. Riantiarno, halaman 203, Penerbit Grasindo-2005).

Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, 1963, Rendra berhasil mementaskan karya Eugene Ionesco, The Chair, yang dia sadur menjadi Kereta Kencana. Dia juga mementaskan Odiphus karya Sophocles. Sepulang dari Amerika, 1967, dia lebih menggebrak lagi lewat pentas-pentas yang menggigit. 

Yang menarik, setelah Bip Bop, Rendra kembali mementaskan teater yang bersumber dari naskah. Dipentaskannya Isteri Yahudi, Informan dan Mencari Keadilan, ketiganya karya Bertolt Brecht yang dia terjemahkan. Dia juga menggelar drama-drama yang sarat teks, antara lain; pentas-ulang Oidipus, Hamlet karya Shakespeare, dan Menunggu Godot karya Samuel Becket.

Bentuk (kemasan) pentas Bengkel Teater, baru mengalami perubahan yang signifikan ketika Kasidah Barzanzi, Macbeth, Dunia Azwar dan Lysistrata digelar. Warna lokal jadi bungkus utama pergelarannya. Dan kekentalan ‘warna lokal’, semakin memancarkan daya-tariknya ketika Rendra mementaskan karya-karya sendiri, antara lain; Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan Suku Naga, Sekda, Panembahan Reso, dan Selamatan Anak Cucu Sulaiman. Ketika Hamlet dan Kasidah Barzanzi dipentaskan-ulang, bentuknya pun mengalami perubahan yang kental dengan warna lokal. Meski siratan isi lakon tetap sama.

Dalam Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Panembahan Reso, bentuk teater rakyat, ‘ketoprak’, dikemas sebagai stilisasi yang sangat berhasil. Pada Macbeth, (juga Hamlet pentas-ulang), Rendra bahkan ‘berani’ menggunakan sarung sebagai pelengkap busana. Ini luar biasa. Dan, konon, belum pernah dilakukan seniman teater lain di Indonesia. Hal itu, terutama, karena William Shakespeare dianggap sebagai pujangga agung yang karyanya tidak boleh diobrak-abrik. Tapi Rendra berhasil menafsirkan kembali, dengan cemerlang.
Segera saja, Rendra menjadi ikon. Dia seakan living-legend dan trendsetter yang berhasil memberi daya-hidup bagi dunia teater (dan puisi). Lewat kiprah Rendra, teater menjadi sangat presitisus dan ‘berharga’. Teater (dan puisi) tak lagi hanya dipergelaran bagi sekelompok kecil orang saja, melainkan sudah menjadi milik masyarakat yang lebih luas. Teater (dan puisi), juga mulai diperhatikan oleh kaum politikus, malah dianggap memiliki potensi yang bisa mempengaruhi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam kebijakan politik bernegara. Ini perkembangan yang menarik dan penting.  

Dan kepada Rendra, saya berguru.


Saya telah berguru kepada seniman-seniman besar. Dalam hal penulisan, saya berguru kepada Asrul Sani, Arifin C. Noer dan Goenawan Mohamad. Tapi dalam perkara teater, guru saya adalah Teguh Karya dan Rendra. Memang saya belajar langsung kepada Teguh Karya, yang juga mengajari cara mempertahankan daya-kreatif dalam kehidupan yang semakin kompetitif. Saya memetik dasar pelajaran manajemen kehidupan kreatif dari dia. Tapi, cara bagaimana membangkitkan daya-hidup serta mempertahankan stamina dalam gejolak arus zaman serta menyiasati kemusykilan politik kebudayaan dalam pemerintahan yang otoriter, saya banyak menyerap dari apa saja yang dilakukan Rendra. Saya mempelajari Rendra secara tidak langsung. Itu kenyataan. Makin hari, hal itu semakin sulit saya pungkiri.  

Saya mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977. Hal itu terjadi, ketika Teguh Karya dan Arifin C. Noer semakin dilibat urusan film, dan kegiatan kesenian Rendra mulai dihambat-hambat oleh penguasa Orde Baru. Saya berniat mengisi kekosongan kegiatan teater yang semakin tersendat-sendat. Pentas perdana saya berjudul Rumah Kertas, 1977, masih menyiratkan pergulatan antara dua bentuk; realisme dan impian untuk menyajikan sesuatu yang berbeda dengan kiprah para pendahulu Teater Indonesia, baik bentuk maupun isi.

Lalu, pada 1983, oleh para kritikus teater, pentas Teater Koma berjudul Opera Ikan Asin (saduran dari karya Bertolt Brecht, The Three Penny Opera), konon dianggap telah menyajikan suatu perubahan bentuk dan isi. Rendra berkenan menonton dan menemui saya di belakang panggung. Waktu itu, dia hanya mengucap satu kata, “Bagus.” Tapi, pujiannya itu, langsung membikin saya berbesar hati. Meski jalan masih panjang, kini, saya memulai sesuatu yang berbeda. Pentas teater saya dianggap penuh sindiran politik. Padahal saya menyebutnya hanya sebagai ‘keterlibatan terhadap berbagai problema sosial’. Tindakan kreatif yang bersumber dari keprihatinan, sociological concern.

Rendra masih berkenan menonton Teater Koma, hingga Opera Kecoa, 1985. Kemudian, tibalah masa-masa gelap itu. Sampek Engtay dilarang pentas di Medan, 1989. Pergelaran Suksesi di Jakarta, distop polisi pada hari ke-sebelas, 1990. Dan Opera Kecoa dilarang naik pentas di Jakarta, 1990, sekaligus dilarang pula berpentas di empat kota di Jepang, 1991.  
Ada satu cerita. Mungkin Rendra belum tahu dan rasanya penting pula diungkap. Pada suatu malam, 1991, setelah pelarangan pentas yang beruntun itu, Teguh Karya datang ke sanggar Teater Koma. Dia tersedu-sedu dan berujar, “Mengapa mengikuti jejak Rendra? Mengapa ikut-ikutan berpolitik? Sekarang ini, Orde Baru masih sulit dilawan. Tindakanmu ibarat membentur gunung. Lihat sebagai akibat! Kegiatan teatermu dilarang, dan akan terus diawasi ..”

Saya termangu. Teguh Karya, orang baik. Dia memandang semua yang terjadi lewat kacamata opitimisme, bahwa segala sesuatu akan berubah dengan sendirinya. Karena alam sudah mengaturnya. Selama ini, kegiatan Teater Populer memang tak pernah bersinggungan dengan politik. Kalaupun ada, mungkin itu yang disebut sebagai ‘politik kemanusiaan’. Tapi, saya yakin, dia mengucap kata-kata itu, bukan dengan ‘kemarahan’, melainkan prihatin karena kemalangan beruntun telah menimpa muridnya. Dia langsung bisa melihat, betapa besar pengaruh Rendra terhadap saya. Itu kenyataan. Tapi bagaimanapun, dia sangat respek terhadap Rendra. Malah mengaguminya.

Saya tidak menyanggah. Tapi dalam hati saya mengucap, “Segala pikiran dan tindakan yang saya lakukan adalah pilihan. Dan pilihan dalam berteater itulah yang menjadi jalan-teater bagi saya. Saya harus mempertanggungjawabkan apa pun yang sudah saya lakukan. Karena saya sudah memilih. Saya harus meyakini pilihan itu. Dan saya siap menanggung segala resikonya.” 

Teguh Karya seniman besar yang waskita. Tanpa saya ucap, agaknya dia tahu apa yang ada dalam benak saya. Lalu, sambil menahan tangis dia berkata lagi, “Sudahlah. Apa yang terjadi, hadapi dengan tenang. Saya mendukung apa pun yang kau lakukan lewat teater. Tapi, semua yang saya punya, sudah habis kau serap. Sekarang ini, Rendra mungkin patut jadi panutan-mu. Hati-hati. Jalanmu masih panjang, masih sangat jauh. Jangan sampai kesasar.”

Kata-kata Teguh Karya, tetap saya simpan dalam kalbu. Hingga kini.

Pelarangan Suksesi dan Opera Kecoa, juga pelarangan pentas puisi Rendra, mendorong para seniman pergi ke DPR-RI untuk memprotes, 1991. Di dalam hearing di ruang sidang pleno DPR-RI, saya dan para seniman bergiliran bicara. Radhar Panca Dahana, sebagai wakil seniman muda, bicara pula. Dia cerdas. Dan, Rendra membaca puisi dengan sangat-sangat bagus. Indah. Memukau. Itulah pembacaan puisi terbagus yang pernah saya saksikan. Para seniman juga pergi ke kantor Menkopolkam Sudomo di Jalan Merdeka Barat. Lagi-lagi, Rendra menjadi bintang cemerlang yang mampu menyihir audiens. 

Terus terang, saya memang pernah ‘marah’ kepada Rendra. Waktu itu, saya menganggap Rendra sudah mulai berkompromi dengan konglomerat. Tapi ‘kemarahan’ itu tidak saya lakukan dengan benci. Justru terbit karena terlalu mencinta. Itu bisa diibaratkan sebagai ‘kemarahan’ yang timbul dari rasa cinta seorang murid kepada gurunya. Mungkin saya keliru. Entahlah.
Rendra kini, 2005, 70 tahun (lahir di Solo, 7 November 1935). Berbagai tindakan bermakna dan inspiratif telah dia lakukan. Dia pernah dipaksa hidup dalam kemiskinan, terlunta, tanpa uang, seakan tidak memiliki masa depan pula. Tetapi daya hidupnya tak pernah padam. Dia memang pernah dikalahkan oleh kekuasaan yang otoriter, tapi, kemudian, ternyata dialah sang pemenang.

Rendra, seniman besar yang kharismatik. Tak salah lagi. Dia milik kita, milik Indonesia, yang tak ternilai harganya. Dia permata mulia. Pikiran-pikirannya jernih dan tajam. Dia selalu mengungkap apa yang dirasa, tanpa jengah, tanpa rasa takut. Dengan sikap seperti itu pula dia pernah dicekal dan dipenjara. Tapi dia tak pernah jera.

Rendra adalah guru. Empu yang mumpuni. Hingga kini dia terus mengkontribusi berbagai pikiran bernas. Kita seharusnya bersyukur memiliki dia.

Selamat harijadi, Mas Willy. Semoga karunia Allah SWT senantiasa menjadi berkah yang tak berkesudahan. Panjanglah usiamu. Murah rezeki. Pantang pensiun. Tetap berkarya. Tetap mencintai Indonesia, teater dan puisi. Amin. Selamat dan juga terimakasih sebesar-besarnya kepada Mbak Ida, yang telah menjaga Mas Willy dengan sangat baik. 

Dari lubuk hati paling dalam dan tulus, Mas Willy, saya sangat berterimakasih kepadamu. Dan saya mohon maaf atas kekeliruan di masa lampau itu. Saya, Ratna dan Teater Koma mencintaimu, selalu.


  Jakarta, 29 September 2005.