PSEUDO-TEATER





Kemarin, seorang tukang kritik bilang, saya mulai kehilangan humor. Kalah lucu. Pentas-pentas saya kian muram. Ekspresi pesimisme. Kurang greget, tidak menggigit, minim kritik. Lebih menyajikan keindahan, perenungan dan metafora. Dialog luber, dramatisasi mendominasi. Sedikit nian adegan kocak. Tak seperti kiprah pada tahun-tahun awal pembentukan. Sekedar catatan, usia kelompok teater yang saya dirikan, lebih dari 30 tahun. Sekitar 114 produksi sudah digelar di panggung dan televisi. 

Tunggu dulu! Kalah lucu? Oleh siapa? 

Ssst, tengok, di sana! Baca! Berita media massa plus foto sudah bicara. Tren baru muncul. Ini dia. Ibaratnya, kucing menggigit pejabat bukan berita besar. Tapi pejabat menggigit kucing pastilah berita besar. Tren itu, mungkin lahir dari kegelisahan Reformasi. Atau, bisa jadi akibat kejenuhan. Misal, karena ketidakmampuan, tak tahu lagi harus berbuat apa, mengingat permasalahan begitu menumpuk. Acak-adut. Sulit memilah perkara, sukar memilih prioritas. Apalagi, setiap saat terdengar teriak nyaring para demonstran di jalan, membuka katup ketidakadilan.  

Dulu pernah ada gurauan (yang sesungguhnya pahit), bahwa satu grup lawak bangkrut akibat kalah lucu dibanding kekocakan yang diproduksi gedung di sebelahnya. Tempat pertunjukan grup lawak itu di Senayan. Di sebelahnya, berdiri megah gedung wakil rakyat kita. Gurauan itu, entah siapa yang memulai, tapi menyebar, provokatif. Kenyataan? Tak tahulah. Tapi, beberapa waktu kemudian, Presiden Suharto ‘dihojat’ mantan menterinya di podium gedung wakil rakyat itu pula. Sementara, arus kekuatan mahasiswa di halaman gedung mendesak-desak bagai bah. 

Di penghujung Zaman Orde Baru, para menteri, pejabat tinggi, politikus top dan jendral-jendral, gemar baca puisi. Agar dianggap sah sebagai peristiwa kesenian, panitia penyelenggara mengundang satu dua penyair kondang dengan honorarium menggiurkan. Acara diselenggarakan di seberang Istana Merdeka. Terkesan, mereka tengah mengingatkan diri sendiri agar lewat puisi, keindahan serta kemanusiaan bisa diserap, dihayati, diamalkan. Sehingga, diharapkan, tak ada lagi aktivis yang hilang dan kebiasaan menembaki mahasiswa-demontrans dihentikan.

Pejabat gemar baca puisi, mungkin sama nilainya dengan tabiat para pemimpin dunia yang suka berfoto dengan anak-anak. Senyum serta sikap polos anak-anak, saat foto dipajang di head line surat kabar, pasti sangat menyentuh. Enerji murni mereka menular, menyatu dengan enerji pemimpin yang ada di dekatnya. Secara politis jelas menguntungkan. Hitler, Mussolini, Marcos dan Mao Ze Dong suka melakukan hal itu.  

Tapi tunggu! Tren baru macam mana sih yang terjadi belakangan ini?


Mengapa aktor-aktris saya kalah lucu? Padahal mereka punya pengalaman puluhan tahun? Biasa menghadapi audiens yang pelit respons. Bukankah mereka selalu berhasil membikin cair suasana? Menggiring lakon rumit ke arah pemahaman yang lebih sederhana? Lewat bitter comedy, nyanyian, atau celetukan yang interaktif? 

Ya, itulah! Kini, para pejabat mendadak berani main teater, ketoprak, wayang wong dan lawakan. Kiprah di panggung, jadi ajang penampilan yang berbeda. Wajah rela dicorengi rias tebal, tubuh dibalut busana unik. Tentu itu pengalaman baru. Jadwal latihan, bisajadi sekedarnya. Dilakukan hanya saat kosong, dan harus dikompromikan. Maklum, enerji mereka sangat dibutuhkan masyarakat. Jadi, latihan menempati urutan ke sekian. Pokoknya manggung. Sekedar mampir? Mungkin. Malah bukan mustahil terbetik niat memanfaatkan teater demi hasrat serta kebutuhan tertentu. Tapi kalau didesak, mereka berkilah, “Eh, saya cinta seni toneel, lho ..”

Bagi pekerja teater yang dedikatif, proses kreatif menuju pementasan jadi hal utama. Bisa lama. Saya biasa melakoninya sekitar 4 hingga 12 bulan. Banyak hal diperoleh dan dipelajari. Peran didekati, digali, dihayati, sabar, tekun dan perlahan, lewat berbagai sisi. Ada pengetahuan dan skill yang dibutuhkan agar bisa mewujudkan keseniannya. Memang ada proses kreatif yang singkat, disebut happening art. Ibarat sketsa. Lakon tak harus terstruktur. Tak perlu pendalaman, yang penting tujuan bisa dipahami audiens. Dan peristiwa yang terjadi mampu mencipta makna.

Maka, bagi yang sekedar iseng mampir ke wilayah teater, hasil akhir bisa ditebak. Buruk dan konyol. Pahit, menyedihkan. Jika banyak latihan dan diberi pemahaman terhadap skill serta pengetahuan teater, mungkin hasilnya lain. Tapi kritikus segera tahu apa yang terjadi di sebaliknya. Lalu? Pers antusias memberitakan. Tentu karena yang berkiprah para tokoh. ‘Kan ibarat pejabat menggigit kucing? Media massa tidak keliru. Malah janggal jika kegiatan semacam itu tak masuk berita. 

O, itulah saat-saat bahagia para petinggi negara. Karena mereka bisa melupakan permasalahan masyarakat yang seharusnya segera dituntaskan. Bukankah untuk bisa bermain bagus, butuh konsentrasi penuh? Itu hukum pentas yang harus dipatuhi.  

Ada yang bilang, Indonesia Negara Teater. Banyak hal, disadari maupun tidak, terkesan seolah terbalik-balik. Para pejabat iseng-iseng jadi seniman atau pelawak, sedang seniman dan pelawak coba-coba jadi politikus. Lho, masa tidak boleh? Bukankah itu tidak hanya terjadi di Indonesia? Di Prancis, penyair Andre Malraux pernah menjabat perdana menteri, Clint Eastwood walikota, Arnold Schwarzenegger gubernur, dan seorang dutabesar Amerika Serikat mengaku kepada saya pernah bermain dalam drama karya Arthur Miller, The Crucible.




Aneh tapi nyata. Kita hidup di dunia seakan-akan. Teater seakan-akan! Para pejabat seakan-akan sudah menyelesaikan PR, padahal permasalahan masih tergantung di awang-awang. Belum tersentuh. Lebih ajaib lagi jika ternyata mereka semakin betah melawak di panggung, malah terbawa-bawa dalam kegiatan sehari-hari. Demikian pula jika para seniman atau pelawak yang iseng-iseng masuk politik lalu berhasil direkrut jadi wakil rakyat, tetap mematung meski minyak tanah kian langka, jalan tol naik tarifnya, kewibawaan merosot di mata dunia, Sidoarjo masih tergenang lumpur, korupsi di mana-mana, dan berbagai ketidakadilan terjadi di depan mata.


  Jakarta, Mei 2007.
  (Diterbitkan sebagai kolom dalam Jurnal Indonesia, 2007)