HARRY ROESLI TIDAK MATI




Dia kawan kerja yang menyenangkan, sahabat yang hangat dan bagi saya, saudara yang terbaik di dunia. Harry Roesli. Ya, dia. Totalitasnya patut diteladani. Kontribusinya tulus. Keikhlasannya dalam memberi selalu mengharukan. Dan humornya serasa tak kunjung habis. Demikian kenyataannya. Saya dan TEATER KOMA kehilangan. Dunia seni pertunjukan kehilangan. Terlalu cepat dia pergi. 

Kami bekerjasama sejak 1983. Produksi yang mempersatukan kami adalah Opera Ikan Asin atawa The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht. Sesudah itu, kami mengerjakan berturut-turut lakon Opera Salah Kaprah (The Comedy of Error) karya William Shakespeare, 1984. Opera Kecoa, 1985, lakon karya saya. Disusul Wanita-Wanita Parlemen (Women in Parliament) karya Aristophanes, 1986. Kemudian Opera Julini, 1986, juga tulisan saya. Dan Opera Para Binatang (Animal Farm) karya George Orwell, 1987. 

Kami berpisah sebentar. Kang Harry, demikian panggilan akrabnya, semakin sibuk menggelar berbagai protes terhadap ketidakadilan di tanah air. Tentu saja, lewat pertunjukan musik atau orasi yang menggedor. Kami bertemu lagi pada produksi Banci Gugat, lakon yang juga saya tulis, 1989. Dan ketika kami menggelar kembali Opera Kecoa di Gedung Kesenian Jakarta, 1990, musibah pelarangan menimpa. Itulah pertunjukan pamit, karena lakon Opera Kecoa akan melakukan muhibah di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka dan Hiroshima). Pelarangan terjadi, setelah pergelaran TEATER KOMA sebelumnya, Suksesi, juga dilarang pada malam yang ke-11. 

Polisi melarang kami naik pentas pada General Rehearsal. Dua mobil kijang polisi diparkir melintang, menghalangi gerbang depan GKJ. Dan para polisi, dengan garang, mengusir siapa pun yang mencoba masuk halaman gedung. Peristiwa yang sangat memalukan! Staf Penataan Artistik dan dua wartawan senior dari Jepang sudah datang untuk melakukan koordinasi akhir serta perancangan strategi PR-ing. Kenyataannya, polisi gagal mencegah puluhan wartawan -- dari dalam dan luar negeri -- yang dengan berbagai cara coba memasuki halaman GKJ. Sebagian dari mereka malah nekad melompati pagar. Mereka didorong oleh rasa ingin tahu apa yang tengah terjadi.

Muhibah teater yang sudah dirancang selama dua tahun itu, akhirnya batal. Begitu saja. Exit-permit tak diperoleh. Peristiwa itu mendorong para seniman mengadu ke DPR-RI, untuk memprotes. Juga digelar sebuah dengar-pendapat di kantor Menkopolkam Sudomo. Tapi protes apa pun yang dilakukan para seniman, Opera Kecoa tetap tidak diizinkan pergi ke Jepang.

Pada malam pelarangan itu, ketika hampir semua anggota larut dalam emosi, Kang Harry segera mengambil alih dan memimpin kami untuk berdoa. Dia meminta agar kami menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Kuasa. Kami memperoleh sedikit ketenangan dan pasrah. Meski hati tetap panas.  
Dalam konperensi pers yang langsung digelar pada malam pelarangan itu, saya, mungkin karena emosional, menyatakan tidak akan mengerjakan kegiatan teater selama dua tahun. Belakangan, Kang Harry mengingatkan agar saya menimbang kembali pernyataan itu. Dia bilang, “Tidak melakukan kegiatan teater, sama artinya dengan tidak mempedulikan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terus terjadi di depan mata. Daripada diam, lebih baik berbuat sesuatu, meskipun tidak ada yang mau melihat dan mendengar.”

Usia Kang Harry lebih muda dari saya. Dia lahir di Bandung 10 September 1951. Tapi dia lebih bijak. Kata-katanya benar. Saya kemudian membatalkan niat saya dan kembali menggelar kegiatan teater, hingga sekarang. Kang Harry, Kang Harry, saya tidak akan pernah bisa melupakan akang. Panggilan akang, adalah cerminan rasa hormat saya kepadanya.

Kisah perkenalan kami, dimulai seusai pementasan TEATER KOMA, Bom Waktu, 1982. Keinginan untuk menggelar The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, begitu menggebu-gebu. Dan satu-satunya pilihan, hanya Kang Harry. Saya yakin dia mampu menafsir karya Kurt Weill yang monumental itu. The Threepenny Opera, yang kemudian saya sadur dan memperoleh judul baru, Opera Ikan Asin, memang tak bisa dipisahkan dengan musik Kurt Weill.

Pendukung produksi, Goethe Institut Jakarta, bersedia menghubungi Yayasan Brecht yang berkedudukan di Munich, Jerman Barat, agar mereka mengirimkan partitur lengkap musik Kurt Weill. Untuk itu, kami wajib membayar royalti pementasan, sebesar 50 DM per-malam. Dan karena lakon akan kami gelar selama 10 malam, maka jumlah royalti berjumlah 500 DM. Barangkali, inilah pertama kali orang teater Indonesia membayar royalti.  

Banyak orang bilang, Kang Harry tidak cocok memainkan musik Kurt Weill. Saat itu, Kang Harry tengah menggemari musik elektronik. Sedang Kurt Weill, konon, lebih pas jika dimainkan dengan musik akustik. Tapi saya tidak terpengaruh. Saya membantah. “Kang Harry pakar musik perkusi. Lagipula, apa salahnya jenis musik elektronik? Musik adalah musik. Instrumen apa pun yang dipergunakan sebagai medium, tidak masalah. Yang utama, saya dan Kang Harry memiliki rasa yang sama, tafsir dan nafas estetik yang sama.” Lagipula, musik Kang Harry sama ‘nakal’nya dengan musik Kurt Weill.

Padahal, saya belum ketemu dia. Dan terus terang, saya belum tahu, bantahan saya itu benar atau salah. Mungkin, saya menjawab begitu, karena yakin harus menjawab begitu. Waktu juga yang kelak akan membuktikan. 

Kami bertemu pada suatu malam, akhir 1982, di depan gedung Teater Arena Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Sebuah pertemuan yang singkat tapi bermakna. Itulah pertemuan pertama, karena selama ini saya hanya kenal nama. Belakangan, Kang Harry pun mengakui hal yang sama. Memang baru saat itulah kami bertemu muka. Saya salami dia, basa-basi sebentar, kemudian langsung mengutarakan rencana. Dia mendengarkan dengan seksama.  
Saya berkata, “TEATER KOMA tidak akan mampu membayar Kang Harry dan DKSB (Depot Kreasi Seni Bandung). Saya hanya bisa berjanji, setelah pemasukan dan pengeluaran dihitung, sisanya akan dibagi secara terbuka. Sepertiga untuk Kang Harry dan duapertiga untuk TEATER KOMA. Tapi kalau pertunjukan rugi, akang tidak akan mendapat apa-apa selain ucapan terimakasih.”

Nama Harry Roesli begitu terkenal. Saya sadar, tengah berhadapan dengan ‘orang besar’. Bukan hanya tubuhnya yang besar, tapi juga karya-karyanya. Saya sendiri, terusterang, kurang begitu yakin dia akan menerima kondisi seperti itu. Jebolan Fakultas Teknik ITB itu, mendirikan ‘Gang of Harry Roesli’, 1971-1977. Kemudian menggelar pentas teater Ken Arok di PKJ-TIM, 1975. Dunia musik geger, karena alat-alat musik yang digunakan Harry Roesli tak hanya sebatas gitar, melainkan juga gong, gamelan, drum, botol, kaleng bekas dan kliningan. Pada 1977, Harry Roesli pergi ke Belanda untuk belajar musik di Rotterdam Conservatorium. Dia menetap di Belanda hingga 1981.

Sepulang dari Belanda, Harry aktif di Departemen Musik LPKJ, sekarang IKJ. Dia juga dosen Jurusan Musik IKIP Bandung, dan belakangan direkrut menjadi profesor. Dia mendirikan DKSB, Depot Kreasi Seni Bandung. Kemudian, jadi bapak asuh ribuan anak jalanan Bandung. Karya-karya musiknya, antara lain, Rumah Sakit, Paranthese, Sikat Gigi, Konser Detak Jantung, Opera Tusuk Gigi.

Saya menunggu responnya. Saya tidak tahu apa harus saya lakukan jika dia menolak. Hanya dia pilihan saya. Tapi, dia tersenyum lebar dan menjawab sangat ramah, “Wah, saya senang dipercaya menjadi tukang musik TEATER KOMA. Soal pembagian honor, tidak perlu lagi dibicarakan. Kapan saya mulai bekerja?” Dia rendah hati, menyebut diri sebagai tukang musik.

Saya lega. Itulah jawaban yang sangat mendukung. Segera saya serahkan naskah Opera Ikan Asin yang sengaja saya bawa. Saya berjanji akan segera mengirimkan bahan-bahan musik dari Jerman sudah datang. Dia mengangguk. Kami berpisah. Hanya itu. Pertemuan yang sangat singkat. Tapi saya langsung ‘jatuh cinta’ kepadanya. Dia cocok dengan bayangan saya. Saya yakin, dia akan banyak berperan dalam pentas Opera Ikan Asin.

Opera Ikan Asin digelar di Teater Tertutup TIM, 30 Juli hingga 8 Agustus 1983. Penonton membludak. Ada juga jendral polisi yang menonton. Kemudian, Pusat Kesenian Jakarta meminta agar lakon digelar lagi khusus untuk mengawali pembukaan Graha Bhakti Budaya TIM, 20-21 Agustus 1983.

Saat partitur tak kunjung tiba, saya gelisah. Saya hafal seluruh musik dan lagu Kurt Weill. Saya mengenal Bertolt Brecht dan Kurt Weill sejak masih di TEATER POPULER. Dan saya sangat terobsesi. Saya dengar berulangkali piringan hitam milik Teguh Karya. Saya bahkan bisa menyanyikan semua lagu lakon The Threepenny Opera. Lalu, saya putuskan untuk merekam seluruh musik Opera Ikan Asin hanya dengan iringan gitar. Saya yang menyanyi. Dan hasil rekaman itu, segera saya kirimkan ke Bandung. Kang Harry menerimanya dengan heran, “Mas Nano menyanyikan semua lagu? Gila.” 
Tapi, dia segera bekerja. Hanya berdasarkan hasil rekaman seadanya itu. Ketika sebulan kemudian partitur lengkap datang dari Munich, dia tidak membutuhkannya lagi. Kerja sudah selesai. Kang Harry menyebut karya Kurt Weill sebagai, “Musik ompong yang sinting, tapi luarbiasa.” Kang Harry berhasil menafsir nada dan suasana dramatik hanya dari rekaman saya itu. Hasilnya, ternyata tak beda jauh dengan partitur aslinya. Dia mengadaptasi lewat berbagai alat musik yang sekaligus menyiratkan karakternya yang khas, ‘nakal’. Dasar musik Kurt Weill, tidak hilang. Sebuah sinergi yang luar biasa. Gabungan dari dua enerji yang masing-masingnya tetap mandiri.

Saya gembira karena pilihan tidak keliru. Kang Harry-lah orangnya!

Kalau diceritakan lagi, maka terasa, cara kerja kami waktu itu sangat romantik. Kami berlatih keras. Kang Harry mengirimkan sample musik, berupa musik yang diisi suara nyanyian dan minus one. Kami berlatih menyanyi berdasar panduan itu. Setelah dua bulan berlatih, kami pergi ke markas DKSB, untuk berlatih bersama. Kami melakukannya tiga kali pada bulan ketiga. Dua minggu sebelum hari pementasan, Kang Harry dan rombongan DKSB, berlatih bersama di sanggar TEATER KOMA. Seluruh dinding sanggar kami tutup dengan kasur-kasur isi kapuk, untuk meredam suara. Meski begitu, tak seluruh suara bisa diredam. Suara musik Kang Harry yang menggedor-gedor, seringkali lolos. Dan membikin kaget para tetangga, terutama, yang mengidap penyakit jantung.

Cara kerja itu, akhirnya bisa ditengarai oleh para tetangga yang bermukim di sekitar sanggar TEATER KOMA. Bagi yang mengidap penyakit jantung, dua minggu sebelum hari pertama pementasan, pasti mereka akan mendengar musik menggedor-gedor. Saya datangi mereka dan meminta maaf. Tapi, salah seorang tetangga malah bilang, “Tak apa. Suami dan anak-anak saya, penonton TEATER KOMA. Saya ingin menonton juga tapi tidak kuat. Para pembantu malah hafal lagu-lagunya. Dan menyanyikannya kalau mereka memasak atau mencuci. Apaboleh buat, saya terpaksa mengungsi di rumah saudara selama dua minggu. Bunyi bedug-nya itu lho, bikin jantung saya seperti dipukuli.”

Saya ingin meminta maaf lagi, lewat tulisan ini. Bedug Kang Harry memang terkenal sangat menggedor jantung. Musiknya riuh rendah tapi indah. Penuh kegembiraan. Kami selalu berlatih bersama di sanggar, selama dua minggu atau sepuluh hari. Sesudah itu kami boyong ke gedung pertunjukan di TIM.

Banyak kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan selama saya bekerjasama dengan Kang Harry dan DKSB. Salah seorang anggota DKSB, Benny Bengcoet, kemudian menetap di TEATER KOMA dan berhasil mencipta sistem manajemen tiketing yang dasarnya tetap dipakai TEATER KOMA hingga kini. 

Opera Ikan Asin menjadi awal upaya pencarian bentuk teater musikal yang diyakini TEATER KOMA. Saya dan Kang Harry coba menyempurnakannya pada produksi berikut, Opera Salah Kaprah, 1984. Tapi baru pada produksi Opera Kecoa, 1985, kami menemukan bentuk teater musikal yang lebih pas. 
Opera Kecoa adalah TEATER KOMA, dan sekaligus juga Harry Roesli. Sama dengan The Threepenny Opera yang tak terpisahkan dengan Kurt Weill, Opera Kecoa juga tak terpisahkan dengan Harry Roesli. Saya menganggap, Opera Kecoa adalah babon dari bentuk teater musikal TEATER KOMA.

Ya. Opera Kecoa. Saya teringat ketika pada suatu malam, gedung GBB dipenuhi tentara berseragam. Mereka memenuhi hampir separuh gedung. Rupanya mereka hanya menjadi penonton, dan menikmati. Intel di mana-mana, tapi ikut tertawa ketika ada adegan yang dianggap lucu. Lalu, penonton yang membludak, rela duduk lesehan dan memenuhi anak tangga auditorium. Kaca loket dan pintu kaca GBB pecah akibat desakan para calon penonton yang memaksa ingin menonton. Pentas diperpanjang tiga hari dan tetap dibanjiri penonton. Semua itu menjadi kenangan tak terlupakan.

Opera Kecoa juga dipentaskan di Rumentang Siang, Bandung, 1985. Dan diperpanjang dua hari. Seluruh rombongan TEATER KOMA menginap di markas DKSB di Jalan Supratman. Kang Harry menjamu dan sangat memanjakan kami. Dia juga berhasil menenangkan kami, ketika datang ancaman bom lewat telepon. Sepasukan polisi menyusuri sudut-sudut Rumentang Siang hingga ke atapnya. Tak ditemukan sebuah bom pun. Pentas tetap berjalan. Tak ada bom yang meledak. Untunglah hanya ancaman. Meski hati kami tetap waswas.

Kang Harry menjadi saksi pentas demi pentas yang kami lakoni bersama. Pada pentas Wanita-Wanita Parlemen, 1986, saya diinterogasi dua polisi di belakang panggung, dua malam berturut-turut. Kang Harry langsung mengambil alih pimpinan. Dia berhasil meyakinkan seluruh yang terlibat dalam pentas, agar tetap tenang dan menuntaskan tugas berpentas. Semua tetap bermain, dan seakan tak terganggu, meski mereka melihat saya diinterogasi secara keras.

Produksi Opera Julini di GBB, 1986, tak mengalami hambatan yang berarti. Pentas berjalan mulus selama 16 malam dan berhasil mengumpulkan jumlah penonton sekitar 15.000. Lalu Opera Para Binatang (Animal Farm) karya George Orwell, kami panggungkan selama 23 hari, juga di GBB. Musik Kang Harry berhasil mewarnai karakter lakon. Kami melakoni jalan teater dengan penuh kegembiraan. Konsep sepertiga untuk Kang Harry-DKSB dan duapertiga untuk TEATER KOMA tetap kami jalankan secara terbuka. Tapi, sesungguhnya, yang paling penting adalah; kami melahirkan berbagai karya teater bersama-sama.

Saya nyaris tak percaya saat menerima berita Kang Harry meninggal dunia. Hari itu, Sabtu, 11 Desember 2004, pukul 20.00 WIB, di sebuah kamar gawat-darurat Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, jiwa seniman serba bisa yang telah melahirkan banyak karya monumental, pergi menemui Sang Pencipta. 

Sebelumnya, kabar Kang Harry sakit, saya terima dengan prihatin tapi samasekali tidak menyangka dia akan segera pergi selamanya. 
Selama ini, kita tahu, dia telah dihajar penyakit berkali-kali, masuk rumah sakit berulangkali, tapi penyakit selalu berhasil dia atasi. Kesehatan selalu berhasil dia peroleh kembali. Saya mulanya juga yakin, Kang Harry akan sehat kembali. Saat itu, TEATER KOMA tengah mempersiapkan pentas Republik Togog.

Kenangan saya mengembara ke masa sekitar awal 2003. Saya menelpon Kang Harry waktu itu, dan mengutarakan rencana mementaskan kembali Opera Kecoa di tempat lakon itu dilarang, Gedung Kesenian Jakarta. Dan pementasan itu akan menjadi produksi TEATER KOMA yang ke-100. Jawaban Kang Harry, seperti biasa, singkat saja, “Siap. Kapan saya mulai bekerja?”

Lalu kami berlatih. Dan Opera Kecoa dipentaskan pada 4 hingga 19 Juli 2003. Limabelas hari. Dengan penonton tetap membludak. Di belakang panggung, dia sempat berucap, “Rupanya zaman tidak berubah. Kita masih sengsara, masih ditekan oleh kekuasaan. Ternyata orang masih butuh katarsis.” Biarpun seakan bercanda, kata-kata Kang Harry selalu cenderung politis. Bacalah esei-eseinya di KOMPAS MINGGU. Kalimatnya cerdas, bernas, penuh humor dan nakal, inspiratif. Tapi orang sering mengartikannya hanya secara harafiah, tidak mau menukik lebih dalam ke kawasan siratan. Agar bisa memahami Kang Harry, bagaimanapun, kita harus rileks, hati terbuka dan tidak bercuriga.

Duapuluh hari bersama di Gedung Kesenian Jakarta, kami serasa mengalami lagi kegembiraan di tahun 80-an. Dia tidak berubah, tetap total, kontributif, penuh canda dan tulus. Dia begitu gembira dan sering menggoda para pemain yang salah dialog atau tegang dalam menghadapi pertunjukan. Tapi selama duapuluh hari itu, dia sempat diserang ‘asam urat’ dua kali. Yang pertama tidak terlalu parah, tapi serangan yang kedua membikin dia tidak bisa berjalan. Dia duduk sambil menahan rasa sakit. Tapi, dua buah jenis pil yang dikirim oleh kakaknya (seorang dokter dan tinggal di Jakarta), berhasil membuatnya normal kembali dalam satu jam. Kemudian dia bekerja lagi, mengordinir para pemusik, seakan tak pernah ada rasa sakit akibat serangan ‘asam urat’ itu.

Bersama Kang Harry, adalah hari-hari makan enak. Jika saya dan isteri saya, Ratna, menyambangi dia di Bandung, pasti kami diajak ke warung-warung makan yang punya sejarah. Baik karena masakannya enak, atau usianya yang sudah puluhan tahun. Pilihannya selalu tepat, seleranya bagus, lidahnya cerdas. Kang Harry memang tidak bisa dipisahkan dengan perkara makan enak. Dia seakan tak peduli, meskipun berbagai penyakit (yang seharusnya membuat dia memilih jenis makanan atau ber-diet) betah bersarang di dalam tubuhnya.

Selama hari-hari pementasan Opera Kecoa di GKJ, ada satu makanan yang Kang Harry sukai, arem-arem namanya. Dia sanggup melahap empat buah sekali makan. Padahal dua buah arem-arem sudah cukup bikin perut kenyang. Kami lalu sepakat menyebut makanan itu, arem-arem Harry Roesli. Itu makanan khas TEATER KOMA setiapkali kami berpentas. 
Maka, setiap kali makan arem-arem itu, seketika kami ingat Kang Harry. Dan biasanya, kami akan bilang, “Kang Harry, arem-arem nih. Makan sama-sama ya?” Tapi airmata kemudian menyembul di kedua sudut mata, tanpa kami sadari.  

Opera Kecoa 2003, juga dipentaskan di Bandung. Di gedung teater Taman Budaya, Dago Atas, pada tanggal 19, 20 dan 21 September 2003.  

Siang, Minggu, 12 Desember 2003, puluhan mobil berjalan perlahan mengikuti mobil jenasah Kang Harry. Iring-iringan mobil berangkat dari Jakarta menuju pemakaman keluarga di Desa Ciomas, Bogor. Di pemakaman itu, disemayamkan jasad Marah Roesli, kakek Kang Harry, sastrawan Pujangga Baru yang salah satu karyanya, Siti Noerbaja, tetap dibaca hingga sekarang. Jasad ayahanda Kang Harry, disemayamkan di pemakaman itu pula. Hari itu, jenasah Kang Harry akan dimakamkan berdampingan dengan makam kakek dan ayahandanya.

Langit mendung. Hujan yang mulanya turun rintik-rintik berhenti seketika saat iring-iringan mobil jenasah lewat. Langit terang kembali. Yang luar biasa adalah, begitu keluar dari mulut jalan tol, di sepanjang jalan menuju Ciomas, masyarakat berdiri di kiri-kanan jalan, menghormati kepergian Kang Harry. Mereka menyebut nama Harry Roesli dengan penuh hormat. “Seperti menghormati presiden yang lewat,” ujar saya dengan airmata bercucuran.

Ya. Harry Roesli memang Presiden Musik Indonesia. Dia layak menyandang gelar itu. Karya-karya musiknya sangat menggugah, inspiratif dan patriotik.

Saya mencari tempat di pojok kerumunan orang di depan mesjid pekuburan. Airmata turun tak bisa dihentikan. Saya menyerap orasi Putu Wijaya yang sangat bagus dan menyentuh. Putu Wijaya kehilangan. Saya kehilangan. Kami kehilangan. Indonesia kehilangan. Kehadiran orang yang kita cintai, baru terasa saat dia tidak ada dan pergi selamanya. Tapi apalagi yang bisa kami lakukan selain ikhlas? Jalan Tuhan tak pernah bisa diketahui. Hanya bisa sedikit dipahami, dengan ikhlas. Mungkin jalan ini yang terbaik untuk Kang Harry. Saya percaya, semoga ada hikmah di balik peristiwa kemalangan ini.

Nia, Yami, Yala, Harry Roesli tidak mati. Dia tetap hidup di dalam batin saya. Sesungguhnya, Kang Harry sudah menyiapkannya, lama sebelum pergi. Dia ingin, kita menghadapi segala perkara dengan bersandar kepada kekuatan lirik yang ikhlas itu, “Jangan menangis Indonesia ..” Ya, saya akan mencoba untuk tidak menangis. Harry Roesli sudah berbahagia. Di surga. Amin, ya Allah. Amin. 

  Jakarta, 19 Maret 2005.