Jakarta memiliki wajah yang belang-bonteng. Kaya dan miskin, suram dan gemerlapan, gaduh dan sunyi, merah dan hitam, biru dan kelabu, membaur jadi satu dalam masyarakat yang mendambakan masa depan lebih baik, masa depan lebih berbahagia. Jakarta adalah pintu berbagai kemungkinan. Harapan dan putus-asa. Gedung-gedung tinggi mencakar langit dengan pongah. Tapi di dekatnya, berhimpitan gubuk-gubuk reot di kawasan yang kumuh. Gang-gang becek dan got-got mampet berbau busuk.

    Pada suatu hari, saya lewat sebuah pasar yang becek. Di sudut yang luput dari perhatian, nampak seorang lelaki tua. Tubuhnya renta, pakaiannya lusuh. Tapi dia bukan pengemis. Mungkin hanya urban yang gagal mengadu nasib di Jakarta. Di dekatnya membusuk gunungan sampah yang menghitam. Bau bacin. Tapi apa yang tengah dikerjakan lelaki tua itu? Dia bersembahyang di atas kertas karton yang dijadikannya sebagai sajadah. Dia bersembahyang dengan sangat khusuk, tak perduli sekeliling. Segenap isi pikirannya hanya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Sekuat daya saya menahan perasaan. Saya tak ingin dijebak keharuan, meski saya sangat terharu. Ketika lelaki tua itu menyelesaikan sembahyang dan mengucap salam, saya membalas salam. Saya segera berlalu dengan mata berkaca-kaca. Adakah yang sudah saya perbuat untuk dia? Sosok yang seakan tengah membusuk tapi tetap ingat Tuhan? Sosok yang bukan satu-satunya, sebab kita dikepung berjuta orang papa seperti dia. Terpinggirkan. Apa arti kesenian dan teater, bagi mereka? Adakah mereka memahami? Pernahkah mereka mendengar tentang Konstantin Stanislavsky, Bertolt Brecht, August Strindberg, Eugene O’Neill, Arthur Miller atau Meyerhold?     

    Teater modern disahkan kehadirannya lewat pengetahuan dan teori-teori. Mungkin itu yang jadi salah satu sebab, mengapa teater modern seakan barang mewah yang sulit terjangkau oleh orang kebanyakan. Hanya mereka yang berpendidikan saja yang mampu menikmati. Tapi haruskah seperti itu? Bukankah semua orang berhak menikmati kesenian? Tidak bisakah agak lebih disederhanakan? Bukankah teater rakyat memiliki kemungkinan menuju bentuk ‘penyederhanaan’ itu? Sederhana, bukan simplisitas.

    Lalu timbul kesimpulan; Teater Indonesia harus dilahirkan kembali tapi tidak selalu berpatokan kepada teori dari Barat. Sejak itu saya merasa, apa yang sudah saya serap, apa yang sudah saya lakukan, samasekali belum memadai.

    Lalu, saya mulai mengarahkan perhatian kepada teater rakyat kita yang sifatnya intim, tak resmi, spontan, bebas, jujur dan apa adanya. Saya tidak menyesal memiliki pengetahuan Teater Barat. Tapi saya tak ingin menelan mentah-mentah. Saya hanya ingin menjadikannya sebagai bahan studi banding. Hanya ingin mempelajari teknik pemanggungannya dan ‘memanfaatkannya’.

    Saya menyesal karena sudah melupakan milik sendiri. Pada 1968, saya merasa  teater tradisional dan teater rakyat kita bak baju wangi kamper yang tergantung dalam lemari terkunci. Jarang dipakai. Hanya disimpan dan dianggap pusaka. Riwayat mistiknya dikisahkan, aturannya disakralkan dan ditabukan. Teater tradisional kita bertahan dalam posisinya, hanya sebagai warisan tradisi belaka. Kekuatannya jarang ditimbang, apalagi dieksplorasi. Hanya sedikit yang kenal. Itu pun sering cuma sebatas kulit saja.

    Teater tradisi dan teater rakyat kita, banyak yang kemudian mati merana, tanpa diketahui di mana letak kuburannya. Musnah sejarahnya. Hanya sedikit yang coba memikirkan kemungkinan hadirnya teater rakyat dan teater tradisional ke dalam bentuk dan warna teater kita masa kini. Itu pun sering menuai berbagai penolakan karena dianggap berniat merusak warisan tradisi budaya bangsa.

    Ide-ide, pemikiran, cara penyajian, struktur penulisan cerita dan simbolisasinya, roh dan semangatnya, jarang sekali digali untuk dipahami atau dijadikan sumber ilham. Saya ingin menjadikannya sebagai bahan utama teater saya kelak. Itulah ikrar yang membuat saya kemudian berkeliling Nusantara, 1975, selama enam bulan.

    Teater dan kehidupan sehari-hari adalah dua hal yang saling berkaitan. Sebagai ilmu pengetahuan, mungkin bisa nampak terasing, kering dan sunyi. Hanya sedikit peminatnya. Tapi sebagai tontonan, teater harus membaur dengan kehidupan sehari-hari. Mimpi-mimpinya akrab, dan pemikirannya memiliki akar. Dia tak boleh mengajari tapi mengajak bersama-sama memecahkan berbagai masalah kehidupan. Dia hidup, dinamis dan bergerak tanpa sungkan, tanpa ragu. Dia tidak jauh dari masyarakatnya, menjadi media-kretif yang menjembatani dan menciptakan ‘komunikasi estetik’.

    Teater Indonesia harus mampu menembus berbagai batasan; bentuk, ruang, waktu, aturan, dan emosi. Dia harus mampu menyodorkan pemikiran-ulang berbagai konvensi serta memfasilitasi pikiran-pikiran baru yang bertujuan mulia; membuat kehidupan manusia jadi lebih baik. Bentuknya, mungkin merupakan campuran dari berbagai hal, seperti wajah Jakarta yang belang-bonteng. Dia harus bisa dinikmati oleh kaum terpelajar dan urban-gagal yang sebelumnya tidak pernah mengenal teater. Mengapa begitu? Karena teater lebih memihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. Dia harus  hadir untuk semua pihak yang membutuhkannya.

    Teater harus bicara, tidak dengan sentimen yang memihak dan mengandung prasangka. Teater sebaiknya memotret peristiwa, menyerap nilai-nilai estetik, lalu membeberkannya secara adil dan jitu, tanpa menyakiti.

    Teater harus membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang berguna bagi pengembangannya, tanpa terpengaruh dari mana pengaruh itu berasal. Teater harus menutup kemungkinan masuknya pengaruh buruk, meski pengaruh itu terbit dari dalam negeri sendiri. Realisme, surealisme, simbolisme, ekspresionisme, bukanlah jawaban. Yang utama, apa manfaatnya bagi kemanusiaan. Apa manfaatnya bagi kebahagiaan.

    ‘Apa yang akan kita sampaikan?’

    Rencana itu, sebagai titik tolak yang sangat penting.

    Pada dasarnya manusia cenderung tidak puas. Selalu tidak puas. Keinginan disusul oleh keinginan lain. Setiap saat, ada seorang murid yang menyalami gurunya dan sambil berlinang air mata mengucap, “Selamat tinggal guru, saya tidak akan melupakan guru”. Lalu sang murid pergi dan melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya.

    Detik berdirinya Teater Koma adalah awal dari sebuah babakan baru bagi saya. Baik dalam gaya penulisan, penyutradaraan, dan gaya berteater. Dalam penulisan,  saya mulai meninggalkan gaya ‘realisme romantik’ dan melangkahkan kaki ke babakan ‘pemotretan masalah dan membeberkannya tanpa menyakiti’. Pentas-pentas Teater Koma juga berusaha lebih masuk ke dalam lingkaran masyarakatnya. Luwes, intim, bebas, tidak resmi, spontan dan berseloroh. Gaya penyajian berseloroh, sumbernya dari sifat babakan ‘goro-goro’ dalam wayang, dan biasa disebut guyon parikeno.

    Jika ada yang menyatakan, merawat kelompok teater semudah membalikkan telapak tangan, maka saya berani bilang; yang berkata seperti itu adalah pembohong besar. Memimpin para seniman, bukan hal mudah.