Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang merelakan diri hidup hanya untuk teater, saya menganjurkan anggota Teater Koma agar tidak memasuki teater dengan modal kosong. Mereka harus rela mensubsidi kegiatan sendiri, yang dikerjakan tidak tergesa-gesa. Rileks tapi tetap waspada. Dengan cara itu, sebuah pertunjukan yang baik dan bernas pun bisa disajikan. Persoalannya adalah, apakah rileks dilakoni dengan penuh kewaspadaan dan rasa tanggungjawab atau hanya rileks tak waspada saja?
Cara sederhana seperti itu, berdasarkan kenyataan lapangan, malah justru mampu mencipta kegembiraan kerja. Dalam sebuah paguyuban, yang masing-masing anggotanya saling mengisi kekurangan, suasana akrab kemudian dibangun. Saya tidak pernah marah jika ada pemain datang terlambat latihan. Saya hanya berusaha mengetahui mengapa dia terlambat dan membahasnya dengan simpatik. Saya menyodorkan pemahaman mengenai disiplin dan tanggungjawab seorang seniman.
Saya beritahu, bahwa kelompok sangat membutuhkan kehadirannya. Jika dia tidak hadir atau datang terlambat, bisa jadi kegiatan kelompok akan tersendat atau bahkan macet. Biasanya, pada hari latihan berikutnya, dia tidak terlambat lagi.
Sekian lama bekerja dalam teater, saya telah mencatat berbagai hal. Lalu saya coba menuangkannya dalam tulisan. Catatan ini lebih merupakan kumpulan pengalaman lapangan, bukan kesimpulan baku yang didata dari survei ilmiah lalu menjadi pegangan yang kaku. Catatan-catatan saya hanya kumpulan berbagai informasi, catatan pinggir atau percik-percik pemikiran. Meskipun dalam arti yang lebih luwes, catatan ini bisa juga disebut sebagai sikap dan pegangan kerja kelompok Teater Koma. Pegangan, yang sewaktu-waktu bisa berubah, seiring dengan gerak zaman.
Di sekeliling kita, berbagai sumber kreatif mampu mencipta ‘peristiwa teater’. Dengan kepekaan seorang seniman, berbagai sumber kreatif itu bisa diserap untuk kemudian diproyeksikan kembali secara tajam. Saya sering merangkumnya sehingga menjadi naskah drama. Bagaimanapun, saya masih meyakini konsep teater teks sebagai dasar dan titik tolak menuju perwujudan peristiwa teater.
Tapi naskah drama tulisan saya, juga bukan patokan kaku. Di dalam perjalanan, naskah punya kemungkinan berubah atau berkembang. Saya menganjurkan pemain-pemain saya untuk menggali jawaban tidak hanya dari teks. Peluang penggalian narasumber kreatif yang lebih luas justru lebih banyak terdapat di luar teks. Mereka bisa mencarinya di dalam kehidupan nyata, kemudian bersama-sama membahasnya di dalam forum latihan. Lalu memilih yang paling tepat sebagai bahan utama.
Begitu keinginan berkelompok diikrarkan, saya harus siap berbuka hati dan sabar. Ada beberapa anggota yang sebelumnya tak tahu apa itu teater. Bahkan menonton pertunjukan teater pun tak pernah. Tapi karena dorongan teman, mendadak ingin masuk kegiatan teater. Apa harus ditolak? Tentu tidak. Pada kenyataannya, sikap ikut-ikutan semacam itu justru sering terjadi dalam dunia teater kita. Modalnya hanya semangat atau harapan tertentu. Jika teater dibayangkan sebagai sosok yang mengerikan, biasanya mereka akan segera lari. Tapi jika hanya dijanjikan tepuk tangan dan popularitas saja, kenyataannya sering tidak seperti itu. Lalu kita dianggap pembohong. Jadi, kenyataan mana yang harus diungkapkan?
Saya akan bertindak untuk tidak menggambarkan berbagai kesulitan dalam berteater, sekaligus juga tidak menjanjikan apa-apa. Biarlah waktu yang akan membeberkan kenyataan. Latihan-latihan dasar yang diwajibkan, juga menjadi semacam alat seleksi. Memperkokoh dasar, nyatanya lebih berat dibanding latihan untuk pementasan. Tapi jika niat lahir dari keinginan yang kuat, biasanya daya tahan pun akan kuat. Jika tidak, mereka langsung hengkang. Sebab, teater ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pengalaman lapangan, usia, kematangan dan waktu, mengajarkan banyak hal yang berharga.
Disiplin teater bukan disiplin mati, tapi disiplin hidup. Tanggungjawab yang diminta bukan karena paksaan tapi karena kebutuhan. Dan kerja bukan sebuah beban melainkan menjadi kumpulan kegembiraan. Teater, ibarat sebuah kegiatan yang dijalankan dengan dada lapang dan keikhlasan. Kejujuran. Sangat sederhana tapi bukan berarti mudah dilakukan.
Catatan ini ditulis tidak dengan kehendak memaksa orang lain untuk mengikuti. Kenyataan lapangan yang saya alami, bukan satu-satunya jalan dalam berteater. Saya hanya ingin ‘mengajak untuk memahami’ apa yang sudah dan hendak dilakoni kelompok Teater Koma, yang usianya masih sangat muda. Di luar cara saya, tentu banyak cara lain, yang berbeda. Dan masing-masing cara, mungkin sama baiknya jika ditilik dari sisi peyakinan dan kebutuhannya.
Semoga pembeberan ini tidak malah mengaburkan. Saya sadar, setiap cara pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tapi dari kekurangan, biasanya, lahir ketidakpuasan. Dan dari ketidakpuasan, seyogyanya, lahir upaya perbaikan. Dunia bergulir dan ‘marak’ karena upaya-upaya agar menjadi lebih baik. Itulah hidup. Itulah teater. Dan di titik itulah letak kekuatan seni pertunjukan; upaya memperbaiki diri.
Saya mulai mengenal teater pada 1965, saat masih SMA di Kota Cirebon. Saya bermain sebagai Scipion dalam Caligula karya Albert Camus. Saya yakin bermain buruk. Tapi saya merasa seakan menemukan dunia yang diimpikan selama ini.
Saat itu, banyak anak muda yang suka berpuisi. Saya juga. Usia 16 tahun, semangat menggebu-gebu dan dengan pongah ingin menyaingi Shakespeare. Kegiatan saya berkisar antara ‘diskusi tentang puisi’ dan menerbitkan majalah dinding di sekolah. Kadang saya mengikuti lomba deklamasi (dan tidak pernah menang). Sekali seminggu membaca puisi di radio. Sejak itu, secara tak langsung, saya sedang mempersiapkan diri untuk menjalani semacam ‘upacara ritual’ memasuki dunia dambaan, teater. Memang belum terlalu pasti. Dan ayun langkah saya, diiringi dengan banyak pertanyaan.
Saya samasekali tak menyangka, perjalanan kreatif mendorong saya jadi seperti sekarang ini. Nasib? Atau cuma kebetulan saja? Entahlah. Sering saya berkaca, bertanya mengapa. Tapi tak pernah ada jawaban pasti. Yang mengherankan, saya tak pernah menyesalinya. Paling tidak, hingga saat ini.
Meski sering dijerat situasi buruk, saya tetap bahagia. Mungkin ini dunia saya, bagian dari nasib saya. Saya bersyukur karena diberi peluang untuk meraih banyak hal. Diberi kesempatan untuk menghargai. Salah satunya; menghargai segala hal. Biarlah orang berpendapat, ada sesuatu yang sangat buruk dan sama sekali tak ada harga. Saya tetap berusaha untuk menghargai. Pada tempatnya masing-masing, adakah ‘sesuatu’ yang samasekali tidak berharga? Saya meragukannya. Bahkan sebutir pasir, sampah ataupun kotoran hewan, pastilah punya harga. Pasti berguna bagi hal-hal tertentu. Nilai ‘yang sangat buruk’ itu, pastilah spesifik, khusus.
Kesenian adalah ‘kehidupan’, sebuah inti-kehidupan. Dan kesenian telah menjalankan tugasnya dengan baik. Dia menaruh bagian-bagian yang dimilikinya, pada tempatnya. Dan punya harga. Saya mempercayai kesenian. Teater adalah kesenian. Segala unsur kesenian bermuara kepada teater. Teater memiliki peluang dan kemungkinan yang sangat luas, tergantung bagaimana si seniman memanfaatkannya.
Begitu lulus SMA, 1967, saya langsung merantau ke Jakarta. Saya belajar dalam sebuah ‘akademi kehidupan’ di bawah bimbingan guru tunggal, Teguh Karya. Saya mendalami pengetahuan artistik, penyutradaraan dan penulisan.