OH, CIREBON !





Bagi saya, Cirebon adalah tanah tumpah darah. Jika ada yang menanyakan asal-muasal, dengan bangga saya menjawab, “Saya dari Cirebon.” Setiap kali berseminar di luar negeri, saya selalu menyebut, “Saya orang Indonesia, asal Cirebon, itu kawasan di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kami punya Bahasa Cerbon, yang berbeda dengan Bahasa Sunda dan Jawa.” 

Meski nenek-moyang asal Jawa, saya wong Cerbon. Saya lahir di RB Pamitran, 1949. Orang tua tinggal di Gudang Air, Parujakan, sejak 1940. Pada 1960-an, kami pindah ke Gunungsari, masih Parujakan. Ayah bekerja di DKA (Djawatan Kereta Api). Dan ibu, waktu Zaman Penjajahan Jepang, sempat berjualan sayur dan cabe di Pasar Kagok. 

Saya ‘diracuni teater’ oleh Indra Suradi dan Sirullah Kaelani, dua seniman besar Cirebon, sehingga sampai sekarang saya tetap menekuni dunia teater. Tapi ‘racun’ mereka tak saya sesali. Malah saya syukuri. Dua guru teater itu, sukses pula memprovokasi, sehingga, begitu lulus SMA, 1967, saya langsung ke Jakarta dan kuliah di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Di ATNI, ada seniman hebat: Usmar Ismail, Asrul Sani, D. Djajakusuma, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Maliyati dan Pramana Padmadarmaja. 

Pada tahun 1965, saya terlibat kegiatan teater Tunas Tanah Air (TTA). Toto Suprianto -- deklamator handal dan teman sebangku sejak SR hingga SMA -- yang mengajak. TTA bermarkas di RRI Cirebon. Dan seminggu sekali, anggotanya membaca puisi atau cerpen lewat corong radio. Arifin C. Noer dan Mus Mualim, senior saya. Sebelum mendirikan Teater Kecil, Arifin kuliah di Solo. Sedang Mus Mualim pindah ke Jakarta, lalu menikahi Titiek Puspa. 

Jarang yang tahu Cirebon memiliki empat kraton; Kasepuhan, Kanoman, Kacerbonan dan Keprabonan. Tapi hingga pindah ke Jakarta, saya tetap tak paham mengapa di Cirebon ada empat kraton. Dan mengapa setiap bulan Maulud, keramaian seakan dipusatkan hanya di Kasepuhan dan Kanoman?

Setiap kali ritual Panjang Jimat diselenggarakan, saya berupaya keras agar bisa melihat dengan jelas pusaka kraton yang akan disucikan. Meski begitu saya harus memilih; Kasepuhan atau Kanoman? Dan itu saya lakukan setiap tahun, tanpa bosan. Mengherankan. Seakan ada sambung rasa, semacam ikatan batin, yang bikin saya (rasanya) wajib hadir saat ritual itu digelar. Itulah magi yang magnetis, pertanda aura kraton (saat itu) masih memiliki kekuatan yang mencipta daya tarik.

Saya mengenal berbagai bentuk seni pentas lewat keramaian Maulid Kanjeng Nabi, baik di Kasepuhan maupun Kanoman. Wayang Klitik, Potehi, pertama kali saya lihat di Kanoman. Juga Masres (sejenis lenong atau ketoprak dalam Bahasa Cerbon), Genjring Dogdog, Cemeng, Reog dan Tong Setan. 
Pada awal Teater Koma didirikan, 1977, saya menyatakan bahwa; ‘Sumber kreatifitas saya adalah Teater Rakyat Cirebon, Masres, dengan teknik penyajian Teater Barat’. Tapi banyak yang menyebut saya Brechtian (penganut Bertolt Brecht, dramawan Jerman).

Meski pengaruh budaya Cirebon melekat kuat, saya menyimpan kekecewaan terhadap kebijakan tata kotanya. Kekecewaan pertama terjadi saat bagian depan rumah-rumah di sepanjang Karanggetas dan Pasuketan terbabat habis akibat pelebaran jalan. Kabarnya, demi kelancaran bus antar kota. Mengapa tak membangun bypass di luar kota? Toh, bertahun kemudian, jalan pintas di luar kota akhirnya dibangun juga. Tapi korban telah jatuh; arsitektur kuno Cirebon nan lentur dan indah bernuansa Cina, musnah.

Kekecewaan kedua terjadi ketika bangunan-bangunan antik digusur, diganti jadi mal dan swalayan. Bangunan langka bergaya Art Deco, Istana Siliwangi Pagongan, tergusur. Dan banyak bangunan berarsitektur kolonial, juga tak berbekas lagi. Siapa paling bertanggungjawab terhadap kanibalisme ini?

Pada 1995, saya menggarap Cemeng 2005, The Last Primadonna. Saya gusar karena, konon, ada peraturan daerah yang melarang seniman rakyat berpentas di jalanan. Mereka dianggap mengotori pemandangan kota. Saat itu, saya mengira masih ada sekitar 45 bentuk kesenian rakyat di Cirebon. Tapi nyatanya, yang tersisa cuma 21 kelompok. Saya mengundang mereka. Sekitar 500 seniman berkumpul di alun-alun Kawedanan Sidanglaut. Festival Kesenian Rakyat digelar dan saya rekam sebagai bagian dari adegan film.

Lewat film itu saya mematok dugaan, ‘Jika tak dirawat, tidak dibina secara proporsional dan penuh cinta, maka pada 2005, kesenian rakyat dan seni tradisi Cirebon, mati.’ Seharusnya dugaan itu ditolak oleh yang berwenang lewat kebijakan ‘pembinaan secara benar harta pusaka Cirebon’. Untuk upaya perbaikan, masih ada waktu sekitar 12 tahun. Tapi Cemeng 2005 dituduh mengejek dan pesimistis. Lihat sekarang! Siapa yang kelak menggantikan Abdul Adjib? Mimi Rasina? Siapa pengganti Mak Sawitri? Siapa peduli upaya-upaya regenerasi? Revitalisasi?  

Dengan sangat maaf, saya juga harus bilang bahwa kraton-kraton di Cirebon terkesan semakin lusuh. Kereta Paksinagaliman di Kanoman dan Singabarong di Kasepuhan, seolah kian berdebu. Terlupakan. Memang butuh dana perawatan yang tak murah. Tapi siapa yang sesungguhnya harus bertanggungjawab? Sebuah pendopo baru dan duplikat kereta kencana, sulit disebut telah berhasil mencipta aura sebagaimana pusaka yang aslinya. 

Pasar tumpah Beringharjo di Yogyakarta, berangsur hilang saat Gedung Sositet Baru dibangun. Sultan HB X bersabda, dan para pedagang mematuhi. Hasilnya? Sebuah bolevar asri dan arus lalulintas yang teratur. Cirebon? Apakah mungkin terjalin kerjasama antara pemda, kraton dan masyarakat? Harta pusaka masa lalu yang bersejarah, milik bersama. Jika masih sudi menghargai sejarah, seluruh lapisan masyarakat wajib memeliharanya. Kenyataan, sejarah adalah hal berharga yang masih bisa kita miliki saat ini. Mengapa dilupa? Jangan sampai menyesal kelak. Oh, Cirebon, Cirebon!